Anak-anak Baik

256 24 4
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

...

“Abang kenapa berantem lagi? janjinya kemana? Ayah dipanggil ke sekolah hari ini, katanya kamu hajar orang sampe pingsan dan sekarang kamu kena skors tiga hari. Kenapa gitu abang? kalau begini harusnya memang ayah enggak pernah kasih ijin abang buat les taekwondo dulu. Ayah yang salah, abang kayak gini karena ayah yang gagal didik anak-anak ayah.”

Damian yang duduk diam di sudut bawah ranjang milik Tanaka menggeleng. Kepalanya yang dari mulai datang ke kamar sang ayah terus menunduk kini menegak. Tidak ini bukan salah ayah. Ini salahnya yang tidak bisa menahan emosi.

“Enggak. Aku yang salah, ayah enggak salah. Abang minta maaf yah,” katanya penuh sesal.

“Bukan abang yang salah.” 

Tanaka dan Damian refleks menoleh ke arah pintu kamar, di sana Avi berdiri. Entah kapan anak itu membuka pintu yang pasti bungsu Wijaya ini mulai menghampiri Damian. 

“Jangan marahin abang aya, abang engga salah.” Avi merentangkan tangan di depan Damian, seolah ingin melindungi kakaknya dari ayah mereka. “Abang begini karena adek. Jadi yang salah adek, aya marahin adek aja jangan abang.”

“Kenapa aya harus marahin adek? lagian ayah enggak marahin abang, tanya abang kalo gak percaya? ayah ada marahin abang emang?” 

Tanaka mana tega memarahi buah hatinya. Meski kelakuannya sangat nakal, tapi dia tidak sampai hati memarahi atau bahkan membentak. Tanaka yakin anak-anaknya adalah anak yang baik, dia pun menyadari jika putra dan putrinya tidak akan bertindak di luar batas jika tidak ada penyebab yang jelas. 

“Enggak, ayah gak marahin abang.”

“Tuh dengerin. Sekarang aya yang mau tanya ke adek, kenapa adek bilang abang berantem itu karena adek? coba jelasin ke aya?”

“Tadi siang—” 

“Biar adek yang jawab bang,” sela Tanaka saat Damian ingin menjawab menggantikan Avi. 

Sejak kecil Tanaka memang ingin menerapkan pada anaknya jika mereka harus menyelesaikan apa yang sudah mereka mulai dan berani menjelaskan apa yang ada dipikiran mereka. 

“Tadi siang ada kakak kelas yang tiba-tiba nyela antrian, harusnya giliran adek. Tapi dia udah ngeduluin. Itukan salah ya aya? Kata aya kalau ada yang berbuat salah harus ditegur jangan dibiarin. Jadi adek tegur, adek tegurnya udah pakai saran aya ko. Pelan-pelan dan selembut mungkin, tapi walau gitu kakaknya malah marah dan dorong adek. Terus abang tau, dan bales kakak yang dorong adek itu aya.”

Benarkan? Tanaka yakin sekali jika anak-anaknya adalah anak baik. Tidak mungkin memulai pertikaian tanpa alasan. 

“Berarti adek dia dorong ya? ada yang luka enggak anak aya?”

Damian menyingkap lengan kaus milik Avi dan menunjukkan siku adiknya yang ditutupi plester luka. “Siku nya kegores paving batu terus berdarah.”

“Yaampun, ada luka lain gak?”

“Engga aya.” 

“Syukur deh, sini dek. Abang juga sini.”

Tanaka melebarkan kedua tangan, isyarat ingin memeluk kedua putranya. Avi yang lebih dahulu masuk ke pelukan, sedangkan Damian masih di posisinya. 

“Abang sini!” perintah Avi.

“Enggak, abang udah gede. Ga butuh pelukan.” Damian dengan gengsinya.

“Mau segede apapun kamu tetep anak ayah yan.” Karena Damian tidak mendekat akhirnya Tanaka dan Avi yang menghampiri.

Mereka berpelukan, Tanaka terlihat mengusap surai Damian dan Avi bergantian. Setelah itu menciumnya, “Aya yakin anak aya tuh anak baik semua.”

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 24 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Semesta Avi Where stories live. Discover now