part 4: unlucky men sydrome

92 13 15
                                    

Jeffrey, dengan hati yang berat, menyadari bahwa harapannya untuk dipahami oleh Taeyong hanyalah ilusi. Meskipun ingin menjadi jujur tentang perasaannya, ketakutannya akan menimbulkan konflik baru membuatnya ragu. Namun, di tengah keraguan dan ketakutan, Jeffrey mendambakan kedamaian dalam mengakhiri kisah bertepuk sebelah tangan ini.

Taeyong adalah satu-satunya yang menetap dalam hati Jeffrey, di tengah banyak pria sebelumnya yang hanya meninggalkan jejak dalam gairah sementara sebagai teman tidur semata. Meskipun demikian, seiring berjalannya waktu, Jeffrey mulai menyadari bahwa hubungan-hubungan semacam itu adalah bagian tak terhindarkan dari kenyataan yang harus diterima dalam kehidupan seorang gay.

Sulit bagi Jeffrey untuk mengakui bahwa dia sebenarnya tidak ingin terlibat dalam hubungan dengan Taeyong, meskipun dia bisa berpura-pura sebaliknya. Namun, Taeyong sepertinya tidak menganggap masalah kehadiran Jeffrey di sana. Dengan kertas dan pulpen di kedua tangannya, Taeyong menyajikan beberapa pakaian yang telah selesai sesuai dengan desainnya.

Jeffrey melihat deretan busana yang tersusun rapi di depannya, mengakui bahwa karya Vivacious tidak pernah mengikuti aturan tertulis yang biasa dipegangnya dalam mengatur tren fashion melalui Vaganza. Karya mereka begitu orisinal, mempertahankan sisi punk yang diyakininya berasal dari ide Taeyong.

Taeyong berjalan membelakangi Jeffrey menuju sebuah balkon di kamar hotel itu.

Ketika mereka tiba di balkon, Taeyong kembali mengeluarkan bungkus rokoknya dan mengambil dua batang, menawarkannya pada Jeffrey.

"Kau merokok, Jeffrey?" tanya Taeyong. Suasana tiba-tiba menjadi lebih informal daripada saat pertemuan mereka di restoran.

"Tidak, terima kasih, Taeyong," jawab Jeffrey, mengikuti arus suasana yang diubah secara tiba-tiba.

Jeffrey bukanlah perokok, bahkan tidak suka menghirup asap dari benda nikotin itu, tetapi untuk kesempatan kali ini, dia bisa memakluminya.

"Begini lebih baik," ujar Taeyong sambil menyalakan rokoknya, menghisapnya dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya dengan lega. "Aku kurang suka suasana formal saat bertemu klien, terasa kaku dan tidak nyaman. Terlebih lagi, makanan di restoran itu juga kurang cocok bagiku. Aku mengajakmu bertemu di sini hanya karena busana-busana karyaku ada di hotel tepat di atas restoran ini."

Mereka berdua terdiam sejenak, masih berdiri di balkon kamar hotel. Suasana sangat canggung bagi Jeffrey, tetapi Taeyong tampak biasa-biasa saja, menikmati angin malam yang menerpa wajah tampannya.

"Bagaimana tanggapanmu terhadap hasil karyaku, Jeff?" ucap Taeyong memecah kesunyian yang melingkari keduanya.

Jeffrey tersentak kecil saat ketahuan sedang memandang Taeyong. Ketika pria itu melirik sedikit ke arahnya, dia berusaha memasang wajah serius untuk menutupi kegugupannya.

"Meskipun terkesan eksperimental dan memberikan banyak kesan punk, aku yakin karyamu ini sedikit banyak dapat membantu untuk memberikan kontribusi yang baik dalam Milan Fashion Week," jelas Jeffrey sambil memandangi keindahan kota New York di malam hari.

"Kau pasti memiliki jiwa muda yang menyukai punk, bukan?" tambahnya, mencoba menciptakan suasana yang lebih santai.

Jeffrey lagi-lagi mendengar tawa renyah milik Taeyong, setelah pria itu selesai mendengar isi pikiran Jeffrey tentang rangkaian busana miliknya.

"Kau benar, aku sangat menyukai punk. Dulu aku dan istriku bertemu saat aku baru memulai mendirikan grup bandku sendiri, saat itu di Chicago pada tahun 1980-an." Taeyong tiba-tiba berhenti bercerita dan kembali melihat ke arah Jeffrey, namun mata pria itu hanya tertuju ke arah dagunya. "Aku yakin kau bahkan tidak pernah mendengar nama grup yang akan aku sebutkan. Lupakan saja."

The Devil Wears PradaWhere stories live. Discover now