[05.] 1000 Bunga

3 0 0
                                    

Sepasang mata bulat itu mengerjap begitu berat, disusul dengan uapan lebar-lebar akibat kurangnya jam tidur. Salahkan kakaknya yang berteriak heboh di jam setengah dua pagi, membuat pemuda itu terbangun dan kelimpungan mencarinya sebab khawatir. Kakaknya itu tengah mengandung dan Minjae takut sesuatu yang buruk terjadi. Sempat dia mengira wanita itu akan melahirkan sebelum ingatannya berputar mengingat usia kandungan Yena yang bahkan belum menginjak angka lima.

"Noona, apa yang—!" kalimatnya terpotong saat membuka pintu dan menemukan Yena melompat-lompat kecil dengan riang. Minjae menahan napasnya, "terjadi ...?" raut panik itu berubah lempeng seketika.

Yena menoleh, kemudian menghampiri Minjae untuk menyeret si Adik memasuki kamarnya. "Aku memiliki kabar baik!" ucapnya antusias dengan ekspresi berseri, kontras dengan suasana malam yang begitu kelam. Minjae sampai harus menyipitkan mata begitu mendapati efek bling-bling yang berpotensi membuatnya sakit mata.

"Apa?" pemuda itu menghela napas. "Tidak bisa kah besok saja? Aku mengantuk."

"Aghh, sakit!" Wanita itu malah mencubit perutnya dengan ekspresi kesal. Bibir mengerucut dan kedua alis menukik. "Jangan bilang kau sedang mengidam?"

"Bukan!" sergah Yena cepat. "Dengarkan aku dulu," ucapnya sabar melihat kelakuan Minjae.

"Ada seseorang yang baru saja menelfonku, dia memesan seribu tangkai bunga mawar untuk besok pagi."

Kalimat itu membuat kedua mata Minjae melebar. Ekspresinya seolah berkata 'benarkah?'. Namun anak itu malah membaringkan diri di kasur Yena, "Mungkin itu hanya prank, kau tahu anak-anak jaman sekarang suka sekali mengusik orang dengan melakukan hal bodoh semacam itu," ucapnya acuh dengan mata setengah terpejam.

"Mana ada orang gila yang memesan seribu tangkai bunga mawar putih di tengah malam seperti ini?" sambung Minjae lagi.

Yena memukul paha Minjae dengan gemas, "Aku tidak bohong, ini sungguhan!"

"Wanita itu bahkan langsung membayar lunas setelah aku mengirimkan nomor rekening toko," sambungnya kemudian menarik-narik tangan Minjae untuk bangun. "Ayo bangun dan antarkan bunganya, dia memintamu secara khusus!"

Mata Minjae terbuka sedikit. "Kau juga lebih gila menerima pesanan di tengah malam seperti ini, lagi pula memangnya kita memiliki stok seribu tangkai bunga mawar?!" kesal Minjae mendelik pada Yena.

Yena menggeleng cepat, "Aku tidak tega menolaknya, wanita itu menelfonku dengan suara serak, parau sekali nyaris sampai aku tak bisa mendengarnya." Wanita itu menghela napas, mengingat bagaimana pelanggannya menelfon beberapa menit lalu. Yena yakin bahwa wanita itu tengah dilanda kesedihan yang begitu dalam, dan tebakannya mengarah bahwa seseorang terkasih dari wanita itu telah tiada.

"Dan jangan lupa kalau kita masih memiliki hutang pada si Han Ji Pyeong gila itu." Yena bersedekap dengan tatapan datar. "Aku tidak mau dia datang dan mengobrak-abrik toko."

"Cepat, pergilah! Urusan bunga sudah jadi urusanku, Yon Ahjussi akan mengantarmu ke greenhouse. Mereka sudah menyiapkannya, cepat!" Yena semakin ganas, menarik-narik tangan Minjae sampai tubuh pemuda itu limbung hampir jatuh ke lantai.

Minjae menghembuskan napas pasrah. "Baiklah, kemana aku harus mengatarnya?"

"Rumah duka di pinggiran kota."

Dan disinilah Minjae berakhir sekarang, di depan Jangryesik-jang yang cukup mewah untuk berada di pinggiran kota. Rumah duka tempat bersemayamnya jenazah sebelum dikremasi atau dimakamkan. Mengecek arloji murah yang melingkari tangannya, jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Terlalu pagi untuk dirinya yang biasa bangun di jam sembilan. Bahkan Baskara pun belum menunjukkan batang hidungnya di ufuk timur sana.

Zero to Zero: The Fallen of Hell ProtectorOnde histórias criam vida. Descubra agora