Chapter 4 - Terusik

12 2 0
                                    


Anaya baru saja keluar dari ruang pasien yang menjadi pasien terakhirnya hari ini. Hari yang tidak terlalu berat. Namun, begitu banyak yang ia kerjakan. Anaya berjalan melewati koridor rumah sakit yang sepi. Kemudian, kedatangan Ana yang selalu mengagetkan itu tetap saja membuat Anaya terlonjak.

"Kamu bisa tidak kalau muncul itu jangan tiba-tiba?"

"Ya, kan, aku hantu, Nay."

Anaya hanya mentap kesal. "Dari mana saja kamu?"

"Aku punya teman baru."

"Siapa?" Anaya menoleh. "Mbak kunti?"

"Bukan, ya! Ini juga manusia."

"Manusia?" Anaya berubah serius.

"Pasien di sini. Dia bisa melihatku."

"Siapa, Ana?"

"Pengen tahu aja."

Anaya semakin kesal.

"Sudah sampai mana progres misi?"

Anaya menghela napasnya. "Semakin banyak kejanggalan ...."

Ana menunggu ucapan Anaya yang menggantung itu. Ia melihat tatapan Anaya yang mengarah lurus ke depan. Setelah Ana mengikuti arah tatapnya, ia melihat Gian di ujung koridor.

"Gudang," gumam Anaya. "Ana, kamu ...." Anaya mencari-cari keberadaan Ana. Namun, ia tidak begitu memperdulikan. Ia lebih tertarik untuk mengikuti Gian.

Anaya melangkah perlahan mengikuti Gian. Ketika Gian sudah berbelok di ujung koridor, Anaya berlari. Anaya masih berada di balik koridor, tetapi ia bisa melihat Gian yang memasuki gudang. Sepengetahuan Anaya, gudang itu sudah lama tidak digunakan. Anaya baru tahu jika ternyata ruangan itu masih bisa diakses.

Gian membuka pintu yang terkunci. Kemudian, ia masuk. Anaya menimbang-nimbang niatnya untuk masuk ke dalam. Kaki Anaya mulai melangkah, tetapi ia urungkan karena Ana memanggilnya dari belakang.

"Anaya."

Anaya menoleh, matanya melebar melihat Ana yang kesusahan bernapas. "Ana, ada apa? Kamu kenapa?"

Ana memegangi dadanya. "Aku baru saja masuk ke dalam gudang itu."

"Lalu?"

"Nggak tahu kenapa energi di dalam benar-benar kuat sekali. Aku kesusahan mengontrol diriku." Ana bernapas berat.

"Kamu sudah masuk? Ada apa di dalam, Ana?"

"Benar-benar gelap. Banyak sekali pintu."

"Sebentar," sela Anaya. "Itu hanya gudang, kan?"

"Iya memang gudang. Tapi, ada satu pintu yang bisa diakses. Dan itu membuka ruang yang lain."

Anaya hanya diam, ia berpikir.

"Jangan masuk sendirian, Anaya. Kita tidak pernah tahu ada apa di dalamnya."

"Tapi kita tidak akan pernah tahu jawabannya kalau tidak masuk ke dalam."

"Kita rencanakan lagi, jangan sekarang." Ana sudah bisa bernapas dengan normal. "Kita harus pintar-pintar membuat rencana, jangan sampai karena terburu-buru kita kehilangan peluang untuk membongkar semuanya."

Anaya menyandarkan tubuhnya pada dinding, menyunggar rambutnya ke belakang. "Iya, kamu benar."

"Kita pulang saja. Aku duluan." Setelah itu Ana menghilang.

Kini, Anaya hanya sendiri tinggal bersama pertanyaan yang muncul di pikirannya. Ia menoleh ke arah gudang itu, lalu Anaya memilih untuk berbalik arah. Meninggalkan tempat itu. Langkahnya mengarah pada evelator. Anaya melipat tangannya ke depan sambil menunggu pintu terbuka.

SILAMWhere stories live. Discover now