PAGI ITU |1

325 40 1
                                    

KUINGAT Surabaya pada tanggal 09 April 1987,  dimana hari pemilihan 3 siswa untuk mewakili Olimpiade bahasa Inggris.
Aku Daniel Satria Vajendra kelas XI bahasa tentu saja mengikuti dan berharap diantara 3 siswa tersebut terdapat namaku, karena jika perwakilan 3 siswa mendapat nilai yang baik dari sekolah-sekolah lain setiap 3 siswa akan diberikan beasiswa untuk kuliah.

Aku duduk di teras rumah sambil menatap ke langit saat mentari pagi mulai terbit. Sinar matahari yang hangat mengintip dari balik cakrawala, memancarkan cahaya lembut ke seluruh lanskap. Udaranya segar, dipenuhi kicauan burung di kejauhan. Mataku tenggelam dalam hamparan luas warna biru di atas, pikiranku melayang ke berbagai kemungkinan yang tak terhitung jumlahnya yang ada hari itu.
kutoleh ayah yang sedang duduk di sebelahku, kupakai alas kaki satu persatu bergantian, kutoleh kembali ayahku, kucium tangannya.
"Kula budhal sekolah, Pak," Ucapku sembari membenarkan tasku.
Dia memberikan senyuman kemudian menepuk-nepuk pundakku.

Kakiku melangkah bergantian dan menuntun keluar motor Astrea yang diberikan ayah saat aku duduk pada bangku kelas X
"Assalamualaikum," Salamku bersamaan menoleh kebelakang.
"Wa'alaikumsalam Wr. Wb," Jawab pelan Salamku oleh laki-laki yang sedang duduk di teras.
Dia memandangiku lama hingga aku hilang dari pandangannya, hal itu selalu berulang setiap kupamit berangkat sekolah padanya.

Pada pagi hari yang sedikit panas, lapangan sekolah terlihat seperti sebuah tempat yang sangat aktif dan penuh energi. Sinar matahari yang terik membuat tanah berwarna coklat dan membuat suasana menjadi lebih hangat, seorang Guru naik podium dan berpidato dengan suara bertalu-talu.
Di tengah lapangan suasana semakin panas, siswa teriak-teriak dan saling dorong-dorongan saat tahap penyampaian pemilihan 3 perwakilan siswa.
"Jangan dorong dorong memangnya sedang mogok?"

"Ketiga nama siswa yang saya sebutkan silahkan ke depan!" Perintah guru
"Indah Cairent Vardani!" Tegas guru
Aku merasa semakin deg-degan dan berkeringat.
"Gio Shelen Andrean!"
Nama sahabatku, dia menepuk pundakku dari belakang, lalu melangkah ke depan dengan gagah.
Aku menunduk pasrah, menunggu putusan nama siswa terakhir.
"Daniel Satria Vajendra!"
Aku mengangkat kepalaku, hatiku bercampur kaget dan senang.

Tengah lapangan yang tadinya suasana sangat panas berubah menjadi hangat, Aku menoleh ke kanan terlihat sangat jelas wajah dingin tanpa ekspresi, namun isi hatinya sudah jelas kumengerti, karena dia adalah teman sebangku sekaligus sahabatku.
Kutoleh lagi lebih ke kanan, terlihat perempuan dengan tersenyum menghadap keratusan siswa, ku perhatikan lagi wajahnya, ternyata perempuan pendiam sekelasku yang letak duduknya didepan mejaku dan gio.

BAHASA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang