Bab 8: Berawal Dari Pesan

1.3K 268 43
                                    




Edzar percaya bahwa menikah itu bukan untuk semua orang. Entah sejak kapan pemikiran itu muncul di benaknya. Yang jelas, sudah bertahun-tahun dia mempercayai hal itu. Sehingga tanpa sadar, di usinya yang sudah di penghujung kepala dua ini, tidak pernah terbesit keinginan untuk menikah sekalipun.

Bukan tanpa alasan Edzar berpikiran begitu. Tentu ia punya banyak sekali alasan, yang agak sulit jika harus disebutkan satu per satu. Jadi, setiap kali ada orang yang menawarkan ingin mengenalkan ia dengan anak atau kerabatnya, Edzar langsung menolaknya dengan halus, tanpa sekalipun mempertimbangkannya.

"Kenapa tho, Mas? Mbok ya, dicoba dulu, kenalan. Mosok belum lihat orangnya seperti apa, sudah langsung menolak begitu. Nggak ada salahnya dicoba. Yang namanya jodoh itu, meski sudah ada yang mengatur, tetap harus berusaha untuk mendapatkannya. Kamu butuh duit aja harus kerja dulu. Sama halnya dengan jodoh, harus dicari, diusahakan. Kalau kamu diem-diem gini aja, yo nggak bakal ketemu sama jodohmu!" Tintrin adalah salah satu orang yang tidak pernah menyerah mencarikan jodoh untuk Edzar, tanpa diminta.

Tidak terhitung lagi berapa banyak perempuan yang ditolak Edzar, tapi sampai detik ini, wanita berusia lima puluhan itu masih saja menyodorkan beberapa foto perempuan setiap kali ia berkunjung.

"Nggak papa, Budhe. Memang sekarang aku belum siap menikah. Masih mau cari bekal dulu yang banyak." Jawaban diplomatis itu sudah Edzar ulang puluhan kali, sampai yang mendengarnya menampakkan raut jengah.

"Menyiapkan bekal sebelum pernikahan itu memang harus. Tapi, yang namanya pernikahan itu adalah perjalanan panjang, yang setiap harinya penuh dengan pembelajaran. Jadi nggak perlu yang nunggu siap banget gitu, Mas. Asal udah paham dasar-dasarnya, hak dan kewajiban suami-istri, punya penghasilan tetap, ada tempat tinggal, itu sudah lebih dari cukup. Nanti yang lain-lain bisa dipelajari bareng sambil jalan. Kalau kamu nanti dulu-nanti dulu, ya nggak akan pernah merasa siap, nggak nikah-nikah, keburu tua!"

Dan seperti biasa, Edzar tidak pernah menanggapi dengan serius ceramah panjang dari wanita yang sudah merawatnya sejak SD itu. "Lho tumben, hari Minggu gini Ajeng enggak kelihatan, Budhe? Lagi ada acara, dia?" Pria itu melongokkan kepalanya, mengalihkan perhatian.

Sudah terbiasa menghadapi sikap keponakannya yang seperti ini, Tintrin pun menyerah. Memilih kembali ke dapur untuk mengambilkan makanan lain yang bisa dihidangkan.

"Umurmu sudah hampir 30 lho, Mas? Apa dari semua calon yang ditawarkan Budhe, nggak ada satu pun yang sreg? Padahal Budhe kan juga enggak asal mengenalkan perempuan. Pasti Budhe seleksi dulu, dicari yang paling shalihah." Tiba-tiba saja suara Listyo terdengar dari belakang Edzar, ikut bergabung di meja makan.

"Gimana mau sreg, wong kenalan aja belum kok!" timpal Tintrin dengan nada sengit.

"Bukan perempuannya yang kurang sesuai, tapi aku yang belum siap, Pakdhe."

"Belum siap?" Listyo menatapnya dengan kening mengerut, kemudian memindai penampilan Edzar dari atas sampai bawah. "Belum siap dari segi apa?"

Kali ini Edzar terdiam. Selama tiga tahun terakhir, Listyo dan Tintrin rutin mengirimkan info kajian pranikah, dan memaksanya untuk mengikuti semua itu hampir setiap akhir pekan. Edzar sih, tidak keberatan. Selagi ia senggang, ia meluangkan waktu istirahatnya di akhir pekan untuk mengikuti berbagai macam kajian yang disarankan. Toh, meski dia tidak berencana untuk menikah, bagaimana pun juga semua yang disampaikan adalah ilmu, yang tetap bermanfaat untuk ia ambil hikmahnya.

Dari banyaknya kajian yang sudah ia kunjungi, ada banyak sekali persoalan rumah tangga yang sudah ia pelajari. Namun, tetap saja ia merasa belum siap. Seperti masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, tidak tahu apa, yang membuat Edzar merasa ... tidak percaya diri untuk mengemban tanggung jawab besar dalam sebuah rumah tangga.

Not Available Where stories live. Discover now