BAB 12: Cinta Yudha Untuk Nadya

9 2 0
                                    

Kayaknya hari ini bakal banjir air mata deh. Gue udah mastiin itu. Maaf, kayaknya gue emang nggak bisa bertahan sama semuanya. Ada banyak hal yang bikin gue sadar soal perasaan gue. Hari ini gue ngajak ketemuan sama Nadya. Di danau sore ini, nikmatin pemandangan yang indah banget. Cuma kita berdua, eh ralat. Maksudnya tadi gue sama si Bagas, dia lagi nunggu sama si Devara di jembatan paling ujung danau ini.

Dia tetep sama kayak Nadya yang gue temuin satu bulan yang lalu. Senyumnya mampu buat gue nggak bisa pindah buat natal dia. Kali ini matanya berembun, kayaknya dia nahan tangis. Kan, udah gue bilang. Pasti dia bakal nangis.

“Jangan nangis. Nanti jadi jelek, lo,” ejek gue. Dia ketawa. “Kenapa nangis, Nad?”

Dia buang muka, kayaknya udah tau apa jawaban yang bakal gue kasih sama dia. “Nggak apa-apa, Kak. Lihat deh, senjanya indah, kan?” Dia ngalihin pembicaraan.

Lo kenapa kuat banget sih, Nad? Gue baru pertama kali lihat cewek kayak lo. Gue Cuma bisa ngomong sama hati, gue nggak berani ngomong langsung.

Gue ajak dia jalan nyusurin danau, airnya jernih kayak mata dia. Tiba-tiba angin niup rambut dia. Pesona dia makin keluar, auranya beda kayak biasanya. Gue jadi makin cinta. Ya, cinta dalam diam.

Dia juga natap gue. Gue Cuma bisa senyum sambil terus jalan pegang tangan dia. “Kamu cantik hari ini, Nad.” Gue muji dia. “Cantik banget.”

“Makasih banyak, Kak.”

“Oh, iya, udah izin sama Pak Kresna ke sini?” Dia ngangguk. “Si Devara mau, kan, nemenin ke sini? Nggak kepaksa?” Dia ngangguk lagi.

“Kenapa sih Kakak ganteng banget?” Gue refleks nengok ke arah dia.

“Kenapa?” Anehnya gue malah nanya balik. Padahal sebenarnya udah tau.

“Bukan apa-apa.” Gue senyum. Aduh, jadi makin berat gue buat ungkapin semuanya. Gue takut, beneran takut.

Akhirnya kita natap ke arah matahari yang mulai tenggelam. Senja juga muncul dengan sempurna. Jantung gue rasanya mau copot lihat pemandangan yang begitu indah. Emang bener, kuasa Tuhan itu nggak ada tandingannya.

“Indah, kayak kamu Nad,” ucap gue sambil nengok ke arah dia.

“Kayak Kakak juga.”

Gue makin erat megang tangan dia. Baru pertama kali setelah beberapa bulan gue putus, hari ini gue megang cewek lagi setelah sekian lama. Tapi, ini cuma sementara aja.

Gue jadi sedih, kenapa ini harus terjadi?

Ketika rasa hanya bisa mengenal satu sama lain aja, saat itu juga nggak ada lagi tempat yang bisa buat kita sama-sama.

Iya ....

Rasa itu perlahan pergi, nyari kebahagiaannya sendiri. Mungkin, perlahan bakal hilang juga seiring berjalannya waktu.

“Kamu pasti pernah baca salah satu kutipan dalam novel Seregina. Ketika tiga cinta, tak dapat dibagi.”

“Iya, itu ada disampul buku. Kenapa, Kak?”

Gue tau, ada banyak cinta yang terabaikan di sini. Ada banyak rasa yang harus dipendam karena masing-masing dari kita nggak peka. Devara suka Nadya, tapi Nadya suka gue. Azizah suka gue, gue suka Nadya. Terus ... si Bagas. Gue juga tau dia suka sama Nadya. Gue diem aja karena dia emang jaga perasaan gue.

“Kamu tau artinya, Nad.”

Azan magrib berkumandang, alhamdulillah waktunya buat gue buka puasa. Nadya ngasih gue satu botol air mineral. “Makasih.”

Setelah gue selesai minum, dia natal gue lagi. Kayanya ada yang mau dia bicarain. “Kenapa? Ada yang mau disampein?”

“Saya mau tanya, puasa itu wajib banget ya, Kak, buat orang muslim?” tanya dia.

Gue ngangguk. “Wajib, Nad. Karena emang udah dijalanin dari zaman Nabi Muhammad SAW.”

“Oh, gitu, ya. Sabulan penuh, ya, Kak?” Gue ngangguk. “Tapi, kadang saya jumpa orang muslim tidak puasa. Apa boleh?”

“Sebenarnya tidak boleh. Tapi, untuk ibu hamil, lansia, sama yang sakit tidak diwajibkan untuk puasa. Dan mereka harus membayar fidyah. Untuk ibu hamil dan yang sakit, mereka bisa menggantinya di bulan lain.”

“Sepertinya seru, ya, Kak berpuasa. Saya jadi mau coba.” Nadya senyum semringah. “Kadang saya penasaran sama Islam, mau mempelajarinya.”

Hati gue rasanya adem banget, nggak ada salahnya juga mengenal Islam. Udah punya niat baik, Tuhan sudah catat sebagai pahala. “Bisa aja, Nad.”

“Bagaimana caranya, Kak?”

“Masuk Islam.” Gue refleks bilang itu. Kayaknya dia kaget banget.

Dia nunduk. Nadya emang dari keluarga yang taat sama agamanya. Mana mungkin gue bawa dia buat meluk Islam, kan? Bukannya nggak bisa, semuanya juga harus dari kemauan dirinya sendiri.

“Tapi, ini sulit, Kak.” Gue paham, Di bulan suci ini, gue cuma berharap apa pun keinginan yang dipanjatkan sama dia terkabul. Juga semua doa yang udah gue usahakan Tuhan ijabah.

“Iya, Nad. Jangan memaksakan diri. Kalau belum dari hati, artinya kamu belum bisa menerima.” Gue senyum, terus ngusap pipinya.

Dia jadi salah tingkah. Kenapa juga gue berani banget ya sekarang? Jangan ngasih harapan Yud kasian anak orang. Parah sih gue, anak orang udah bawa perasaan pasti.

“Oh, iya, katanya Kakak mau ngomong sesuatu. Apa dia?”

Dada gue jadi sesek. Gue belum siap nyiapin kata-kata yang pas. Akhirnya gue narik napas buat netralin jantung yang deg degan. “Nad, soal yang kemarin ....” Pelan-pelan gue ngomong. “... saya juga suka sama kamu.” Nadya natap gue nggak percaya.

“Tapi, saya nggak bisa.” Gue senyum sambil nahan air mata yang mau keluar. “Maaf. Bukannya saya nggak cinta. Karena tembok kita terlalu tinggi.”

Benteng begitu tinggi, sulit untukku gapai ....

Aku untuk kamu, kamu untukku aku

Namun, semua apa mungkin

Iman kita yang berbeda ....

Mata dia udah kelihatan panas, satu tetes air mata jatuh gitu aja. “Nggak apa-apa, Kak. Saya paham.”

“Maaf, Nadya.” Gue cuma nunduk pasrah. Nggak bisa lihat muka dia yang setengah mati nahan tangisnya.

“Nggak apa-apa, Kak.”

Gue ngerasa bersalah banget. Gue udah memprediksi ini bakal terjadi. Terjadi ... karena takdir yang Tuhan buat, nggak bakal sama dengan apa yang sudah mereka rancang.

“Jangan nangis, Nadya.” Gue ngapus air matanya yang keluar. “Jangan nangis, ya?” Gue juga nggak sanggup nahan air mata gue, rasanya berat banget.

“Kakak juga jangan nangis, ya?”

Gue geleng kepala. “Nggak, Nad.”

“Kalau saya memeluk Islam, apakah kita bisa bersatu?”

Gue makin nangis tersedu. Apa yang harus gue jawab? Gue nggak mau bikin dia sedih lagi. “Nad, saya bakal pergi. Nggak bakal balik lagi. Apa bisa kita sama-sama?”

Dia diem, natal gue nggak percaya. “Pergi? Kakak mau ke mana?”

“Ke tempat yang seharusnya. Saya balik ke Jakarta. Karena mimpi saya di sana.”

Nadya meluk gue. Gue nerima pelukan dia. Rasanya nyaman, kenapa di saat kayak gini gue makin cinta sama dia? Kenapa gue makin berat buat ninggalin dia?

“Seharusnya kita nggak pernah ketemu, Nad. Kamu nggak bakal sakit kayak gini!”

“Nggak, Kak! Kakak yang bilang seperti itu!”

“Kenyataanya begitu .... Kita nggak bisa sama-sama.”

 
***

Sulawesi Tengah, 31 Maret 2024

Author Buluk
 


Pesan Terakhir Untuk Nadya | Na Jaemin X Minju ✓Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ