24. Happy Ending?

10 6 35
                                    

<<o0o>>

Karang melakukan hari-harinya seperti biasa, ia sudah mulai terbiasa dengan perlakuan Hilal padanya. Hilal tak semenyebalkan yang ia kira. Hilal adalah Kakak yang baik, Hilal selalu menemaninya, sampai-sampai sekarang ia rindu melamun sendirian di temani suara-suara itu.

"Hari ini lo mau kemana, Ra? Mau beli buku, gak? Lo suka buku, 'kan?" Hilal masuk kedalam kamarnya duduk di sofa yang tersedia.

"Boleh? Sebenernya Karang mau beliin hadiah buat Aza, Kakak gak keberatan?" Karang menutup buku hariannya, ia tak menuliskan apapun, hanya membaca ulang semua tulisannya.

"Boleh, lah! Yuk!" Hilal bangkit dari duduknya, biang bahwa ia akan menunggu di bawah.

Karang segera bersiap, memakai gamisnya. Belum selesai ia dengan kerudungnya, ponsel yang ia taruh di atas meja berdering.

***

Kini matahari sudah berada di puncak singasananya. Begitu terik, tapi tak melunturkan senyuman Hilal siang ini.

Ia selalu menyukai waktu-waktu yang ia habiskan untuk Karang. Ternyata pikirannya saat itu salah, salah besar. Pikirannya bertahun-tahun lalu begitu terdengar bodoh saat ini.

"Udah? Cuman buku itu aja? Ada lagi, gak? Biar sekalian, hehe ...." ucapnya sembari mengambil alih buku-buku yang di bawa Karang.

Karang menggeleng, sudah cukup. Tak ada alagi yang ingin ia beli. Tapi banyak hal yang ingin ia tanyakan. Juga soal ucapan Ayah beberapa hari lalu mengenai, Aman.

"Kakak?" Karang menepuk bahu Hilal ragu-ragu.

"Hm? Kenapa?" Balas Hilal seadanya, ia sedang mengantri untuk membayar, hari ini toko buku lebih ramai dari biasanya.

"Karang boleh tanya?"

"Tanya apa, sih? Sampe lo seragu itu sama gue? Gue Kakak lo, lo gak perlu anggep gue kayak orang lain." Hilal menggenggam tangan adiknya, memberikan rasa percayanya.

"Karang takut Kakak gak suka." Karang menunduk, takut sekali bila Hilal marah nantinya.

"Belum juga ngomong, kenapa udah takut duluan? Ayo ngomong! Apaan emangnya?" Hilal mendekatkan telinganya pada adiknya.

"Kenapa Kakak benci sama keluarga Kak Aman? Kenapa harus Kak Aman? Kenapa Kakak minta Karang buat lupain semua suara yang ada di sini?" Gadis itu menunjuk kepalanya sendiri, mengangkat kepalanya, membiarkan netranya bertemu dengan netra Kakaknya.

"Kenapa ...?"

Hilal mengalihkan pandangannya, hal yang paling ia takutkan terjadi. Ia pikir belum saatnya ia jujur bukan? Masih terlalu cepat, baru saja ia memulai hidup barunya, melupakan kesalahan masa lalunya.

"Soalnya dia ngambil lo dari gue."

***

Beberapa waktu lalu, di tempat lain, Aman terduduk menatap hamparan pasir juga deru ombak yang menemaninya. Pemandangan yang selalu ia suka beberapa tahun terakhir.

"Mau sampe kapan lo kayak gini, Man? Lo pengecut banget jadi cowok. Aman yang gue kenal gak kayak gini." Jizan duduk di samping sepupunya, ikut meneatap apa yang Aman tatap.

Jizan masih tak mengerti, bagian lautan mana yang membuat Aman bisa bertahan, bagian laut mana yang membuat Aman masih mau menunggu meski ia sudah hampir menyerah.

"Lo tau gak? Sekarang gue paham kenapa Karang suka mereka berdua." Aman menunjuk pemandangan di depannya.

"Kalau di pantai, laut sama langit gak punya batasan buat bersatu. Mereka sama-sama biru, mereka punya ciri khasnya sendiri buat di cintai. Dan waktu mereka di satuin kayak gini, siapa yang menolak buat bertahan?"

Memeluk LukaWhere stories live. Discover now