09 : Menyembunyikan

209 32 0
                                    

14 Juni 2012

Suara petikan gitar itu mengalun pada pendengaranku, suara merdu ku dengar dari Mark

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

Suara petikan gitar itu mengalun pada pendengaranku, suara merdu ku dengar dari Mark. Pemuda itu bernyanyi pelan, matanya terlihat memejam sembari menghayat. Aku tersenyum tipis, mengingat beberapa hari ini aku jarang sekali melihat Mark, ia terlihat tampak baik-baik saja sekarang ini.

"Apakah kau suka dengan lagunya?" tanyaku begitu ia selesai bermain. Mark mengangguk, senyum terpatri di wajahnya. "Ada seseorang yang ingin ku buat mendengarkannya."

Aku mengangguk, membiarkan pemuda itu kembali larut dalam permainannya. Senyumku terus tercetak sampai akhirnya pudar mengingat bagaimana seutas harapan akan kembali menghancurkan kami pada detik selanjutnya.

Sebab hidup kami ini tak pernah tenang.

Dan aku yakin, hari ini pun sama.

"Berapa kali kau sudah ku panggil?!"

Ny. Kim tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar, membuka pintu dengan kasar, matanya menatap tajam Mark. "Kau pura-pura tuli atau benar-benar tuli, hah?!"

Ny. Kim tampak marah, lagi. Mark segera menaruh gitarnya, kemudian bangkit dengan panik. "Maaf, aku tak mende─"

"Kau ingin ku hancurkan semuanya?!" bentak Ny. Kim. Mark menggeleng dengan cepat, wajahnya terlihat takut serta khawatir, matanya melirik ke arahku seakan-akan meminta bantuan. Namun apa yang ku lakukan? Aku hanya membuang muka, kemudian menidurkan diri di ranjang dengan santai, aku memunggunginya, headseat ku sumpalkan pada telingaku.

Aku tak ingin melihat ataupun mendengar kejadian selanjutnya.

Yang hanya dapat ku dengar samar-samar hanya bantingan gitar serta tangisan Mark yang nyaring. Setelahnya, Chenle datang untuk membantu Mark, tentu saja lalu keduanya dipukuli habis-habisan.

Air mataku tertahan di pelupuk, aku pikir ini yang terbaik.

Berpura-pura tak perduli sebab aku tak ingin, perduliku ini justru membuat aku dan mereka semua lebih hancur.

Begitu kata Haechan.

🍃🍃🍃


Sejak kecil, Jaemin terlalu terbiasa untuk tak berharap. Hirur pikuk dunia ini mengajarkannya untuk tak berpijak pada sebuah harapan serta ketidak pastian berbekal seutas kalimat penenang. Namun, entah mengapa melihat Jeno yang 'baru saja tersenyum' akan kata-katanya membuatnya terenyuh.

Ah, apakah ini yang dinamakan secercah harapan hidup seseorang timbul oleh sebab sederet kata?

"Tidak ada yang salah menjadi sakit. Kau hanya memerlukan obat untuk baik-baik saja. Baik-baik saja memang belum tentu berarti bahagia, melainkan tak apa aku disakiti, tak apa aku terluka, aku akan tetap tinggal."

Jaemin tak mengatakannya dengan sembarang, sebab itu adalah prinsip teguh yang selalu ia pegang.

"Bolehkah aku bertanya padamu?" tanya Jeno kemudian. Jaemin mengangguk. "Apakah menurutmu.. aku akan baik-baik saja?"

"Tentu."

"Bahkan setelah aku mengorbankan banyak kehidupan untuk sampai pada titik ini, apakah menurutmu aku layak untuk baik-baik saja?" tanya Jeno lagi, bibirnya tersenyum namun matanya sendu. Jaemin dapat melihat luka yang amat dalam di sana.

Jaemin terdiam, tercengang akan perkataan Jeno. Melihat itu, Jeno terkekeh tanpa suara. "Tak perlu menjawab."

"Ngomong-ngomong jika kau tak tahu." Jaemin berujar. "Seluruh permainan semesta ini sudah ada yang mengatur. Jika Ia memutuskan untuk menyuruhmu hidup, maka kau akan hidup. Kau tak perlu repot-repot memastikan pendapat orang."

"Sebab aku tak pernah merasa layak dan hidup ini terlalu melelahkan."

"Lee Jeno."

Jeno tak bergeming, Jaemin menghela napasnya, sepertinya tabiat Jeno yang sudah malas menjawab kembali lagi. Pemuda itu tak menatap Jaemin, ia justru asik dengan dunianya sendiri.

"Dokter Na Jaemin."

Jaemin terkesiap mendengar Jeno yang tiba-tiba memanggilnya dengan gelar. Ini pertama kalinya.

"Aku berharap hidup sampai akhir.. pada akhirnya."

🍃🍃🍃

"Jihoon, kau sudah mengambil dokumen yang Dokter Jaehyun suruh?"

"Belum, maaf. Nanti akan ku berikan padamu, Yura."

"Tolong segera ya. Kalau tidak Dokter Jaehyun akan marah."

Jihoon hanya mengangguk saja, membiarkan Yura pergi. Pemuda itu masih sibuk berkutat dengan pikirannya, ia dan Jaemin sudah bersahabat hampir 5 tahun. Sedikit banyak tentu Jihoon sudah mengenal Jaemin.

Dan karena itu, ucapan Jaehyun terlihat menggelitiknya. Ucapan dokter muda itu menganggu Jihoon. Jaemin nampak labil dan menggebu-nggebu?

Dalam hal apa?

Jihoon benar-benar tak mengerti.

"Apa kau memikirkan sesuatu?"

Jaemin tiba-tiba muncul di sebelahnya, membuat pemuda itu terperanjat kaget. Jihoon mengelus dadanya. "Bisa tidak jangan muncul tiba-tiba?!"

"Baiklah, maaf. Ada apa?" Jaemin dengan wajah tak bersalahnya.

Jihoon terdiam sejenak.

"Menurutmu.. apakah Dokter Jaehyun nampak aneh belakangan ini?" tanyanya pelan. Jaemin mengendikan bahunya, moodnya tiba-tiba berubah kesal begitu membahas Jaehyun.

"Tidak tahu," jawabnya singkat.

"Ah.." Jihoon menganggukkan kepalanya mengerti.

"Sudah berapa lama kau bekerja dengan Dokter Jaehyun?" tanya Jaemin begitu melihat Jihoon kembali melamun.

"Hampir satu tahun. Tak begitu lama."

"Apakah ia baik?"

"Tentu saja, ia definisi dari seorang malaikat, ku pikir begitu dulu."

"Dulu?" tanya Jaemin memastikan.

"Iya..."

"Lalu sekarang?" tanya Jaemin lagi.

"Ck, tidak tahulah! Aku harus mengurus dokumen. Nanti kita bicara lagi, Jaemin!"

Setelah itu Jihoon pergi begitu saja, Jaemin mengerutkan kening menatap punggung pemuda itu yang semakin jauh. Jihoon terlihat aneh. Lebih aneh saat Jaemin tak sengaja melihat sebuah koran terlipat rapi yang digenggam pada tangan Jihoon. Sejak kapan Jihoon membaca koran pada jaman yang sudah canggih seperti ini?

Apakah ia menyembunyikan sesuatu?

🍃🍃🍃


aku double update yaa,
Silahkan dicekkk next part!

Home Alone ✔Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora