Harga Diri-Katanya

9 0 0
                                    

"Perihal menghargai kau bilang? Persetan!!! Untuk apa aku dihargai, aku ini tidak ternilai, jadi tidak perlu di hargai," Pikiran itu mempertegas dirinya yang berada dalam bayangan disebalik kaca di hadapannya, "lagipun, dihargai atau tidaknya aku oleh semua makhluk hidup juga tidak akan merubah takdirku bukan?" Pikiran menyeringai tajam. Dibalik sana, dalam kaca yang penuh luka, batin itu meringis sakit. Benar, dihargai atau tidak oleh makhluk hidup, pikiran akan terus berdampingan dengan batin, meski saling bertolak arah.

"Menurut saja apa kataku" Pikiran diambang amarahnya, ia rasa batinnya terlalu egois jika meminta untuk dihargai barang seribu—mungkin, kepalan tangan pada kaca di hadapannya berhasil membuat sang batin semakin bergejolak, ia yang sudah meringis kesakitan makin dibuat merintih oleh tingkah pikiran dengan segala tetesan darah di tangan kanan si empunya. Dalam kehancuran sang batin, bahkan ia masih bisa membuang nafasnya perlahan, menatap senyum pada pikiran meski dirinya sendiri tidak paham dengan keadaannya.

"Aku menurutimu untuk merendahkan diriku pada manusia-manusia keparat itu? Kau membiarkan diriku menjadi budak para bedebah?" Pikiran masih saja dengan amarahnya, sedang si batin di dalam kaca masih meringis kesakitan yang semakin merajalela. Netra mereka bertemu, saling membius satu sama lain, seolah tatapan tertajam akan menjadi pemenang. Sial, si batin mengeluarkan jurus jitunya, air mata itu nampak jatuh, terlihat diantara pecahan kaca yang mulai jatuh satu persatu. Pikiran memalingkan wajahnya, ia tidak akan lemah—batinnya. Hening.

"Tenangkan dirimu," Dikeheningan tak berlangsung lama, sang batin berkata tanpa ragu, "percayalah semua akan baik-baik saja,". Batin itu tersenyum sedikit meredakan amarah pikiran tentang harga diri, "kemarilah!" Perintahnya pada Pikiran. Pikiran mendekat menatap lekat hancurnya batin dengan tangan kekarnya. "Kau tau, ada tak ada harga diri memang tidak mempengaruhi takdirmu, tapi jangan sampai yang melukai aku adalah dirimu. Mereka memang cukup melukaiku, rasanya sungguh perih, perih sekali, aku kadang tidak kuat menahan itu, dan aku yakin kau tahu itu. Tapi ingat, jangan sampai aku semakin terluka karenamu," Batin tersenyum kemudian melirik pada tangan empunya, "bukankah kemarin sudah berjanji untuk tidak ada lagi yang terluka selain aku?" Sial, kalimat si batin membuat pikiran menjadi kacau.

Ia pergi meninggalkan batin seorang diri, dalam reruntuhan serpihan kaca yang tak lagi utuh. Ya, dia adalah pikiran dan batin yang saling bergejolak

Patah yang Tak Kunjung SudahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang