Salah satu hal dari banyaknya alasan yang membuat Rumi suka hidup di desa adalah kicauan burung di pagi hari yang bisa dijadikan sebuah musik atau alarm jika ia bangun kesiangan. Seperti saat ini.
Setelah Rumi berhasil membuka matanya yang terasa berat karena rasa nyeri di kepalanya terlebih di bagian alisnya, ia mendudukkan tubuh lalu melepas sesuatu yang menempel di dahinya.
Kool fever.
Entah bagaimana ceritanya semalam setelah mendengar amukan Dirga kepada Galih, kepanikan Ares, Liam, dan Leo, Rumi kehilangan kendali untuk terus menjaga kesadarannya sehingga ia harus ketinggalan momen terseru. Tapi untungnya mereka tidak benar-benar membawa Rumi ke rumah sakit.
Hanya ada termometer, sekotak tissue, tiga tablet obat yang baru, dan sangobion di meja.
Mendengar kicauan burung semakin berisik, Rumi menyibak selimutnya dan berjalan dengan sangat pelan untuk keluar dari kamar karena tubuhnya yang meradang membuatnya merasa melayang-layang. Namun ia baru sadar kalau pakaiannya berbeda dengan yang terakhir ia pakai.
"Anjir, mereka yang ganti pakaian gue?" Gumam Rumi sambil menyentuh dadanya.
Seingatnya semalam ia masih pakai jeans dan kemeja tapi sekarang ia sudah pakai celana panjang longgar dan kaos putih. Tapi ya mau bagaimana lagi, dirinya juga sedang dalam keadaan tidak sadar.
Kelelahan adalah suatu hal yang wajar bagi Rumi sebagai mahasiswa dan pekerja sekaligus, namun jika sudah melebihi batas kemampuannya seperti semalam dan saat ia ditemukan oleh Keenan sekeluarga, Rumi hanya bisa pasrah dan berdoa semoga ia masih bisa mendengar suara burung perkutut berkicau di pagi hari.
Bukan burung gagak hitam yang biasa ia dengar sebelum ada siaran dari masjid.
"Diaduk terus, Dir!"
"Pegel tanganku, Yam. Harusnya beli aja tadi."
"Halah, masih bikin bubur lo, belum ngerasain aja bikin dodol."
"Ngapain bikin kalau udah ada yang jual?"
Rumi tertawa mendengar pembicaraan Liam dan Dirga. Tinggal bersama mereka dalam serumah membuat Rumi pelan-pelan bisa benar-benar mengenal karakter mereka. Tentang Dirga, selain dia yang tidak bisa memasak, Dirga sepertinya orang yang tidak mau meribetkan diri sendiri, sepertinya motto hidupnya adalah kalau ada yang mudah kenapa harus susah.
"Kalian kenapa gak bangunin gue?"
Mendengar suara orang yang semalam sekarat, Liam dan Dirga menoleh kaget karena saking fokusnya dengan pekerjaan masing-masing.
"Eh, Rum. Kok kesini, sih!" Liam dengan buru-buru meletakkan pisau, mengusapkan telapak tangan pada baju, dan menghampiri Rumi yang duduk di meja makan.
Menyentuh dahi temannya.
"Masih panas dikit," gumam Liam lantas menatap Dirga. "Bawa ke sini sarapannya, Dir."
Dirga mengangguk, menuangkan semua nasi benyek itu ke dalam mangkuk dan meletakkan tepat di depan Rumi.
"Makan, minum obat, terus tidur lagi. Lo udah gue izinin buat gak kerja dulu hari ini sama bos lo langsung, terus Liam juga udah bilang sama temen-temen lo buat izin gak kuliah," ucap Dirga.
Rumi terdiam menatap semangkuk bubur yang masih panas di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN TEMPAT PELARIAN (Slow Up)
Horror"Mau lari sejauh apapun, pada akhirnya kita akan tetap dihadapkan pada pilihan akan kemana kita melangkah."