30 - Nasi Sambal Tongkol

517 104 24
                                    

Pilar-pilar besar dan tinggi seolah menegaskan betapa angkuhnya sang pemilik rumah. Ukiran rumit serta lukisan-lukisan terpampang jumawa di tiap sudut bangunan. Tapi, sebuah ungkapan uang tak mampu membeli ketenangan mungkin benar adanya.

Pria itu, sang pemilik rumah, tampak menggengam erat besi pembatas balkon. Kertas-kertas berserakan di sisi kaki berbalut pantofel mahal. Gemeletuk suara bakaran cerutu menyamapikan seberapa tak tenang hati pria itu.

Harazein baru saja membaca data diri anak yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya. Anak bermata safir yang malam itu datang bersama Dante. Sebuah manik mata yang terlihat sangat familiar.

Harazein memejamkan mata, menyapu ingatan dimana terakhir kali ia bertemu tatap dengan manik serupa.

Malam itu adalah malam purnama di bulan ke tiga, tiga belas tahun yang lalu. Harazein sedang berjalan santai bersama cucu yang tiga bulan lagi akan berusia lima tahun. Bersenandung menenangkan cucunya yang hampir terlelap, sekaligus senandung kepuasan atas kejatuhan penghalang yang sebentar lagi terjadi.

Ketika malam semakin dingin, Harazein mengeratkan jaket tebal yang membungkus tubuh cucunya. Ini hampir dini hari, dan cucunya rewel akibat tak biasa dengan cuaca negara yang baru kemarin anak itu kunjungi. Langkah kaki Harazein yang hendak menapaki tangga terhenti, gemersik suara rumput terinjak menyapu pendengarannya. Pria itu berbalik.

Di ujung sana, di bawah sapuan cahaya purnama, sosok bertubuh tegap berdiri dengan penampilan kacau. Luka bakar mendominasi tangan kiri hingga siku, wajahnya penuh cipratan darah segar yang satu dua masih menetes. Mata safir menyorot tajam dengan kornea yang memerah.

Rompi anti peluru telah mengenaskan penuh bekas tembak dan tebas. Berbanding dengan tampilannya, aura pria itu luar biasa tenangnya, nyaris tak terasa jika tidak dengan sengaja menjejak rumput keras-keras.

"Apa yang membuatmu datang sebegini berantakannya William?" Tanya Harazein.

William tersenyum lebar menampilkan deretan gigi hingga menyipitkan mata, tapi siapapun akan sadar, betapa kosongnya tatapan mata itu. Tangan terlukanya menyibak rambut lepek berbau anyir. Si cucu dalam gendongan Harazein merasakan perubahan atmosfer hingga mulai terisak.

"Jika di masa depan anda melihat mata saya dalam diri seorang pemuda, artinya kejatuhan anda sudah dekat" Mata William menyorot penuh sumpah.

Berikutnya, pria itu hilang dalam gelap bayangan hutan, meninggalkan Harazein yang tidak mengindahkan kata-kata itu. Ia berbalik meneruskan langkahnya memasuki rumah, tangan kanan berlingkarkan arloji mahal mengelus rambut merah cucunya, disertai deretan suara menenangkan dari mulut.

Tapi hari ini, kata-kata William belasan tahun lalu, terdengar seperti kaset rusak, terputar berulang-ulang di kepalanya disertai derit menyayat telinga.

"Kenapa anak William bisa bersama Dernatte, anda bilang anak itu sudah mati" Pertanyaan Harazein lebih terdengar seperti hardikan.

Pria yang baru saja sampai setelah panggilan mendadak itu berdiri bertumpu tongkat jalan sambil mengangkat sebelah alis, sama sekali tidak terkejut.

"Administrasi kota itu sangat buruk, pasti anak buah saya salah mengira nama" Cedric berbicara dengan tenang.

"Kita sama tidak mengindahkan ucapan William akan sebegini mengancam" Cedric menatap tenang punggung Harazein yang tersendat napas.

"Sekalipun anak itu lepas, harusnya Dernatte yang membunuhnya, seperti anak-anak mereka yang terbunuh atas nama William" Harazein berbalik, menatap Cedric yang berdiri di bawah temaram lampu ruang kerjanya.

"Sayangnya sejak dulu Agraham adalah orang yang sangat bermurah hati" Jawab Cedric.

***

Napas Nera memburu dengan keringat bercucuran, debu tanah dan abu merata hampir di seluruh tubuhnya, rambut coklat lepek oleh darah dan keringat. Ia bergegas berdiri setelah jatuh terpukul bilah kayu di punggung.

BITTER AND SALTY [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang