🌝4🌝

101 27 35
                                    

Tadinya Hinata hendak mencoba berpura-pura tidak mengacuhkan kehadiran pemuda bernama Nana Maxville ini. Namun, Kushina terang-terangan berpesan supaya dia bersedia memberi sedikit perhatian kepada putra semata wayangnya itu. Sisi empatinya pun seketika muncul. Hinata memang sulit menolak permintaan orang lain yang dinilai baik, terutama jika berusia lebih tua dari dia.

Di dapur dia tampak sedang menyiapkan makan malam pemberian Nyonya Rukata. Makanan tersebut masih mengepulkan asap-asap tipis akibat baru saja dikeluarkan dari microwave. Hinata sekadar melakukan pelayanan sewajarnya terhadap tamu, kendati hati tetap bertanya-tanya kenapa dia begitu gampang mengiyakan semua ini untuk sosok yang jelas-jelas asing.

Seringainya terukir singkat sebagai penghibur kebimbangan, setidaknya dia telah membantu dua wanita sepantaran ibunya. Mangkuk berisi nasi, sepiring tumisan sayur dan sepiring lagi ayam bakar yang dipotong tipis-tipis, dia hidangkan beserta secerek teh herbal hangat. Usai tata-menata masakan di meja, Hinata mengayun tungkai menuju kamarnya.

"Makan malam sudah siap. Kamu makanlah duluan, aku akan makan sisanya kalau lapar." Tanpa kata-kata salam, gadis ini langsung menuturkan maksud hatinya.

"Di mana kamarnya?"

"Kamar? Kenapa bertanya?"

"Tidak ada kamar lain?! Jadi, aku tidur di mana?" Kening Hinata berkerut begitu saja. Reaksi Nana Maxville mengingkari dugaannya.

"Kamu tidur di sini, ada futon dan selimut yang bisa digunakan—bagaimana dengan makan malam? Aku sudah menyajikannya untukmu, sesuai pesan Nyonya Rukata dan Nyonya Kushina.

"Aku lelah, ambil saja semuanya." Yang tidak disang-sangka Hinata, Nana Maxville justru menaiki satu-satunya kasur di situ, telentang sambil memejamkan kelopak matanya.

"Apa artinya kamu tidak makan?"

"Aku tidak perlu mengulangi perkataanku."

"Baiklah." Hinata mendesah berat di posisinya, meski kejengkelan terpaksa dia telan mentah-mentah. "Tapi, kamu harusnya tidur di bawah. Ini futon dan ..."

"Aku tidak terbiasa tidur di lantai." Sampai pada detik berikutnya, Hinata  menengok heran ke sumber suara ini. Sementara, Nana Maxville tiada sungkan memunggunginya.

"Hei, bukannya sikapmu keterlaluan? Sebagai tuan rumah aku sudah menjamumu. Aku bahkan tidak memungut biaya sepeserpun, walau aku tidak yakin berapa lama kamu menempati apartemenku ini."

"Tolong jangan keras-keras! Aku hanya ingin tidur." Kontan Hinata tercengang, kehabisan kata-kata protesnya. Entah gerangan apa kesalahan dia perbuat. Lalu, mendadak berhadapan pada situasi yang dipenuhi kejutan. Belum cukup keanehan perilakunya, Nana Maxville betul-betul susah diterka.

"Ya Tuhan." Percayalah, gadis ini sekadar mengucapkannya di dalam pikiran. Dia bukan individu dan segala kemampuan untuk bertindak blak-blakan, melainkan Hinata merupakan figur pendiam yang akan berbicara ketika memang dibutuhkan. "Silakan, aku harap tidurmu nyenyak sekali," katanya ringkas seraya mengambil futon juga selimut untuk dia letakkan asal di lantai.

Tentu dia tidak melupakan hidangan makan malam yang telanjur, dia berencana menghabiskan semuanya andai mampu.

Barangkali dipicu kelakuan berani si pemuda asing, Hinata kalap melahap tandas sajian makan malam. Wajahnya tampak tenang seolah tiada menyadari seberapa banyak suapan masuk ke mulutnya. "Cuma sesaat, aku tahu ini tidak panjang." Barusan dia hendak menyantap sendok yang ternyata sudah kosong. Dia memastikan mangkuk dan piring-piring di sekitar, mendapati seluruhnya bersih. "Apa aku yang memakannya?" Saking bimbangnya, dia berulang kali mengamati piring-piring kotor di depannya. "Astaga, ini cukup berbahaya. Bisa-bisa berat badanku meningkat drastis gara-gara anak itu." Bergegas permukaan meja dia bersihkan, memindahkan piring-piring ke wastafel. Dia berpikir urusan bersih-bersih dapur akan dikerjakan besok, sebab dia benar-benar ingin pergi tidur sekarang.

Met You BeforeWhere stories live. Discover now