TANGIS DIATAS SAJADAH (1)

395 25 7
                                    

Aroma obat-obatan memenuhi ruangan, suara tangis bersahut-sahutan mengiringi kepergiaan seseorang, Gus Agam berdiri kaku sekunjur tubuhnya gemetar, keringat dingin bercucuran meski dia sedang berdiri didalam ruang berAC, rautnya terlihat kacau mata senduhnya berkaca-kaca menggambarkan kesedihan, bibirnya gemetar sambil berbisik pada Tuhannya, tangannya gemetar hebat memegang selembar kertas.

"Dok ini tidak salah?" lirih Gus Agam yang tidak percaya akan apa yang dilihat oleh indra penglihatannya, dia seakan buta huruf saat membaca rentetan huruf yang tertera pada kertas yang hampir remuk digenggamannya.

"Maafkan saya Gus, saya sudah mengeceknya tiga kali untuk memastikan penyakit istri Gus, dan hasilnya tetap sama" Dokter Ishara, dokter yang pernah menangani Jasmine saat keguguran sebelumnya.

"Dok ini pasti salah tidak mungkin Istri saya terkena penyakit ini" kaki Gus Agam melemah tidak sanggup menompang tubuhnya yang ambruk ke lantai berkeramik putih, sebuah kertas jatuh dari genggamannya yang kuat, selembar kertas yang membuat dunia Gus Agam suram seketika, dunia terasa tengah mengujinya dengan sangat hebat, namun zikir keagungan pada Allah SWT masih dia bisikkan tanpa henti beriringan dengan bulir-bulir air yang jatuh dari sepasang mata sendunya.

Sebuah kertas remuk jatuh ke lantai, kertas yang merupakan laporan hasil pemeriksaan Jasmine itu telah merengut senyum menenangkan milik Gus Agam, hanya selembar kertas tapi rentetan huruf yang tertera dikertas itu bagaikan belati yang menikam Gus Agam tepat di jantungnya.

Name : Jasmine Zara

NRIC/PP No. : V979153

Date : 17/04/2024

Hospital : Women Medical Center

Diagnosis : Cancer of Servix

Stadium : IVB

Mata Gus Agam nanar menatap kosong langit-langit rumah sakit yang serba putih, meski tertikam oleh rentetan huruf laporan pemeriksaan Jasmine tidak sedikitpun mengalihkan zikir Gus Agam mengagungkan nama-nama Allah SWT.

Beberapa jam yang lalu Jasmine masih tersenyum lebar saat dia menganggukan kepala tanda setuju mengantarnya ke pantai, dengan lincah istri Gus Agam yang berparas manis itu masih bersiap-siap dan bergegas ke mobil, senyumnya masih manis saat tiba ke pantai bahkan matanya masih berbinar bahagia saat Gus Agam memeluknya dengan hangat. Gus Agam masih mengingat jelas bagaimana Jasmine memamerkan lesung pipi yang dibarengi gigi ginsulnya saat tersenyum terakhir kali sebelum tenggelam dalam pelukannya, bagaimana wanita yang terlihat ceria itu ternyata memiliki penyakit yang begitu serius, bahkan menurut keterangan Dokter Ishara penderita penyakit mematikan ini tentu saja sering merasakan sakit yang luar biasa, bagaimana mungkin sosok Jasmine yang ceria itu selama ini menyembunyikan rasa sakitnya.

Rentetan memori mulai berputar di kepala Gus Agam, momen-momen saat Jasmine demam tinggi dan selalu menolak untuk ke Rumah Sakit, momen saat Jasmine pertama kali mengetahui kehamilannya dan selalu menunda-nunda untuk memeriksanya ke dokter kandungan. "Apakah ini alasannya, Sayang?" lirih Gus Agam yang sudah bangkit dan menatap Jasmine yang terbaring tidak berdaya dipenuhi dengan berbagai alat bantu. "Mungkinkah selama ini Jasmine sudah mengkhawatirkan akan hal ini, sehingga dia selalu menutupi rasa sakitnya, menghindari Rumah Sakit dan pemeriksaan demi mempertahankan janin yang ada di rahim yang sudah tidak baik-baik saja" Gus Agam bertanya sendiri sambil tetap menatap Jasmine dari balik kaca.

Kembali Gus Agam menatap selembar kertas yang tadinya sudah remuk dan terjatuh di lantai, setelah membaca hasil tes itu ada kertas lain yang meunggunya, yaitu selembar kertas persetujuan untuk mengangkat rahim Jasmine bersamaan dengan calon bayi berusia 6 minggu yang harus dia relakan kepergiannya. Jasmine tengah menunggu tanda tangan Gus Agam untuk menyelamatkan nyawanya namun disisi lain tanda tangan itu juga akan merengut janin yang bahkan belum terbentuk wujudnya secara sempurna.

"Sayang apa yang harus Mas lakukan?" dengan suara serak Gus Agam menatap Jasmine yang terbaring kaku.

"Agam" suara khas milik Ummah Maryam mengalihkan pandangan Gus Agam untuk menoleh ke arah sumber suara itu, semenjak pernikahannya dengan Jasmine yang sudah memasuki bulan ke enam itu Ummah Maryam memang jarang memberikan perhatian lebih, egonya masih terlalu tinggi untuk menerima Jasmine yang berlatar belakang seorang pelacur sebagai menantu keturunan Kyai, namun sejak mendengar kabar kehamilan menantu yang tidak diinginkan itu, hati Ummah Maryam sebagai seorang calon nenek itu pun luluh dan berlahan mulai menerima kehadiran Jasmine dalam keluarganya.

"Ummah, apa dosa Agam?" tangis Gus Agam tumpah dalam pelukan Ummah Maryam. "Agam tidak berdosa, ini cobaan untuk hambanya yang taat" ucap Ummah Maryam lirih sambil mengusap lembut punggung Gus Agam yang sedang rapuh.

Gus Agam segera menari diri dari pelukan Ummahnya dia sodorkan hasil pemeriksaan dan surat persetujuan pada Ummah Maryam. "Apa ini Agam?" tanya Ummah dengan tangan gemetar menerima dua kertas yang sudah sedikit remuk. "Ummah bisa membacanya sendiri" lirih Gus Agam sambil tertunduk menenggelamkan wajah sedihnya.

"Cucu Ummah" tangis Ummah memecahkan Rumah Sakit, kertas yang sudah remuk itu digenggam kuat hingga menambah keremukannya, Abah Bukhori yang melihat respon istrinya hanya bisa menatap nanar pada menantunya yang terbaring kaku, kini dia tahu apa yang sedang dirasakan putranya itu.

"Ummah enggak mau tahu, kita harus menyelamatkan calon anakmu Agam" ucap Ummah sambil terisak dengan mata terbelalak. "Ummah sadar Ummah, cucu kita tidak bisa diselamatkan lagi, kalaupun kita memilih cucu kita dua nyawa yang akan kita siksa dan bahkan kita bisa kehilangan keduanya Ummah" Abah Bukhori berusaha menenangkan Ummah Maryam dan menariknya dalam pelukan. Tentu saja yang di ucapkan Abah Bukhori benar, jika mempertahankan rahim yang merupakan saran kanker stadium akhir itu tentu saja hanya mengancam nyawa Jasmine dan itu bukan pilihan yang tepat untuk mempertahankan janin yang masih berusia 6 minggu, bagaimana mungkin janin berusia 6 minggu dibiarkan hidup didalam rahim bersama kanker yang bisa saja membunuh inangnya. Membiarkan kanker itu tetap disana dengan berdalih ingin mempertahankan janin sama saja omong kosong yang mengutamakan keegoisan karena mustahil janin itu bisa bertahan sedangkan sih pemilik rahim saja terancam karena sel kanker itu.

"Malangnya Agam Ummah" Ummah Maryam menangis sambil lembut wajah basah Gus Agam, tubuhnya sama-sama ambruk ke lantai seakan kaki tidak bisa menopang lagi. "Ummah enggak terima harus kehilangan cucu Agam" Ummah masih meraung bersama tangisnya.

Dengan lembut Abah Bukhori menuntun Ummah Maryam untuk duduk di kursi tunggu, setelah memastikan Ummah Maryam lebih tenang segera Abah menghampiri Gus Agam yang tidak kalah kusutnya dari Ummah. "Agam, apa yang Agam tunggu?, segera selamatkan istrimu Nak, ikhlaskan calon anakmu beserta rahim istrimu" ucap Abah Bukhori dengan lembut sambil menatap penuh kasih pada Gus Agam, meski Kyai Bukhori sangat ingin memiliki cucu sebagai penerus Pondok Pesantrennya setelah Gus Agam namun disisi lain dia masih bisa berfikir jernih, tidak ada pilihan lain selain mengangkat rahim tempat sel kanker itu berkembang meski itu sama saja dengan mengangkat janin yang merupakan calon penerus Pondok Pesantren, karena bagaimanapun meski mereka berusaha mempertahankan rahim Jasmine hingga kelahiran janin 6 minggu itu kemungkinan sebelum memasuki bulan ke Sembilan entah Jasmine yang sudah tidak sanggup karena digrogoti kanker atau bahkan janin itu sendiri yang tidak sanggup bertahan karena berdampingan dengan kanker yang tentu secara perlahan juga akan merusak apapun yang ada disekitar rahim itu termasuklah janin itu sendiri.

Gus Agam mengusap air matanya, kembali dia mengingat senyum Jasmine jika dia tenggelam dalam dukanya bagaimana dia akan menenangkan Jasmine kelak yang pastinya jauh lebih terluka dari pada dirinya sendiri. tentu saja diantara mereka semua Jasmine lah yang paling terluka, Jasmine yang harus kehilangan calon anaknya, Jasmine yang akan kehilangan rahimnya, Jasmine yang menahan sakitnya, dan Jasmine pula yang harus kuat melawan kanker yang sudah menyebar disebagian besar tubuhnya. Jasmine yang selama ini sudah menahan sakit saja masih bisa tersenyum manis, bahkan di detik-detik terakhirnya sebelum terkulai lemas Jasmine masih melemparkan senyum manis bukan raut kesakitan pada Gus Agam, bagaimana mungkin Gus Agam selemah itu untuk berdampingan dengan sosok Jasmine yang begitu kuat melawan sakitnya. "Baiklah Abah, Agam akan mentanda tangani surat persetujuan pengangkatan rahim Jasmine ini" dengan tegas Gus Agam akhirnya mencoret kertas persetujuan itu yang menandakan setuju akan membuang jauh-jauh pikiran akan memiliki keturunan dari Jasmine.

***

AR-RAHMAN UNTUK JASMINE (END)Where stories live. Discover now