BEGINI RASANYA TAK PUNYA IBU

13 2 0
                                    

Aku pernah berpikir tentang kehilangan. Kehilangan yang abadi seperti kematian. Bagaimana jika suatu hari, aku tak lagi punya orang tua? Tak lagi punya keluarga? Sahabat? Teman? Saudara? Siapakah dari kami yang akan mati lebih dahulu? Apakah aku? Atau mereka?

Lebih nyaman mana, ditinggalkan atau meninggalkan?

Apa yang akan aku rasakan? Apakah aku akan kesepian? Bersedih hingga berlarut-larut hingga memutuskan untuk ikut jejak mereka? Atau... Aku menikmati kehilangan itu beberapa saat, lalu bangkit kembali menjalani takdir di dunia dan tak lagi mengingat rasa pedihnya?

Lalu bagaimana caraku menghadapinya? Menangis lagi jika terkenang? Atau berdoa layaknya diajarkan oleh agama? Lalu bila aku rindu? Apa yang harus kulakukan? Tak mungkin aku menghubungi dengan telepon atau bertatap muka seperti saat masih ada di dunia. Semua itu selalu bertalu-talu dalam kepala. Siapkah aku? Mampukah aku? Atau justru aku begitu lemah hingga ingin ikut mati?

"Nduk...?" Suara panggilan itu menyentakku. Mirip sekali dengan suara yang begitu kurindukan. Suara yang selalu kuharapkan untuk hadir sekejap meski dalam mimpi. Aku menoleh ke sana ke mari hingga aku sadar, apa yang sedang kulakukan.

Beberapa lembar daster sudah kulipat rapi. Berkumpul dengan baju-baju lain di sudut meja rias. Setelah itu, aku beranjak untuk lanjut membereskan tempat tidur yang spreinya baru kuganti seminggu lalu. Kutarik di keempat sisi. Setiap ujung kuselipkan di sela kasur kemudian bantalnya kutumpuk. Memang terlihat sangat rapi, namun menyisakan sesak yang tak terkira. Aku lebih suka melihat kasur itu agak berantakan dengan sisa kerutan beserta selimut warna ungu yang enggan dilipat. Terkadang, mukena dan sajadah yang digulung sekenanya juga ikut meramaikan. Pemiliknya memang selalu meninggalkan tempat tidurnya seperti itu. Katanya, nanggung kalau dibereskan karena akan digunakan lagi.

"Masih beberes, Nduk?" Pertanyaan bapak mengalihkan pikiranku.

Aku tak langsung menyahut. Hanya mengikuti arah pandangan bapak dari ambang pintu kamar pada tempat tidur itu. Tak ada kalimat yang bapak ucapkan, tetapi aku tahu betul apa yang beliau rasakan.

"Kamu jadi pulang besok?"

Aku mengangguk.

Bapak hanya tertegun. Beberapa detik memandang menyeluruh isi kamar ini lalu menggeleng pelan, meninggalkanku. Lagi, ekspresi tersebut bapak tunjukkan. Belakangan aku sering melihat raut wajah itu. Jarang tertawa. Jarang berkelakar. Tak lagi melontarkan guyonan. Tak lagi bersenda gurau. Sebab orang yang menjadi sumber serta inspirasi untuk candaannya sudah tak ada lagi di sisi.

Aku pun kembali berkutat dengan barang peninggalan ibu. Memasukkannya ke lemari. Menyingkirkan yang sudah usang, menyimpan yang masih layak dan bagus untuk nanti aku sedekahkan pada orang-orang. Aku hanya mengembuskan napas panjang melihat pakaian-pakaian ini tak lagi ada pemiliknya. Pikiranku pun berkelana saat tertumbuk pada blus berwarna cokelat dengan corak bunga merah yang akan aku masukkan di rak kedua.

"Selalu saja pakai baju Ibu, padahal bajumu satu lemari penuh banyaknya!" Itu yang selalu ibu katakan jikalau adikku mulai menggeledah isi lemari beliau.

"Aku nggak punya model ini, Bu." Adikku menyahut. Layaknya anak-anak perempuan lain, lemari ibu adalah kotak harta karun baginya. "Cuma dipake nongkrong bentar. Selesai, langsung aku cuci dan kembalikan." Tanpa menunggu persetujuan, baju itu sudah berpindah tangan.

Seperti biasa, ibu hanya mengomel di mulut meski ujung-ujungnya tetap mengizinkan barangnya digunakan bahkan mungkin tak dikembalikan.

Sekarang sudah tidak ada lagi yang marah-marah kalau bajunya dipakai. Pikirku sembari mengelus baju itu dan memasukkannya ke lemari.

Dan hari ini, tepat hari kedelapan ibu tiada. Meninggalkan kami tanpa pesan apa-apa. Mengembuskan napas terakhir dalam lelapnya, ketika sakit sudah lelah dirasa. Kami seperti perahu yang tiba-tiba kehilangan layar. Terombang-ambing, tak tahu ombak akan membawa kemana. Mengawang-awang tanpa bisa melawan. Hampir karam walau pada akhirnya tetap berada di jalur dalam keadaan terkoyak. Orang bilang, rumah tanpa ibu bagai bangunan tanpa tiang. Bisa roboh setiap saat. Ternyata begini rasanya. Sepi. Berbeda. Tak lagi sama. Seperti luka menganga lebar. Sakit. Pilu.

BEGINI RASANYA TAK PUNYA IBUWhere stories live. Discover now