9. Nirmala

285 58 26
                                    

Sehabis menunaikan salat berjamaah di mesjid, Hema dan kawan-kawan bergabung dengan para bapak-bapak di pos ronda. Sorak sorai serta tawa sesekali mengudara, tak pernah tak ramai pos di tepi jalan itu di setiap malamnya. Sambil nyemil pisang goreng dan reguk nikmat secangkir kopi, mendengarkan orang-orang tua itu membahas perihal politik hingga merembet ke sepak bola, waktu dua jam berlalu amat cepat di sisi Hema. Ia suka suasana hangat yang di masa depan tidak dapat ia temukan lagi di tempat yang sama. Sebab pos ronda ini akan menjelma perumahan elit belasan tahun dari sekarang. Bisa kembali mencecap kesederhanaan masa lalu membuat Hema merasa utuh dan bahagia. Keluguan masa muda yang begitu dirindukan Hema dewasa.

"Kalau aku bikin buku tentang apa yang aku lihat sekarang, aku bakal kasih judul buku itu Adiwarna," kata Mahesa, dan yang kini tengah ia lihat adalah pemandangan langit cerah di mana bintang bertaburan, bersisian dengan bulat yang bersinar separuh. Ia dan Hema berbaring terlentang, berdua, pada dipan di teras pos ronda. Sementara Nata dan Reyhan anteng menonton permainan karambol di belakang sana. Memandangi langit malam adalah kegiatan favorit Mahesa, dan semua orang mengetahuinya. Itu jadi satu dari dua hal yang kerap ia gembor-gemborkan ke orang-orang. Yang kedua, cita-citanya menjadi penulis. Ya, Mahesa mencintai seni merangkai kata. Ia cinta kalimat indah.

Hema yang sama jatuh cintanya pada pesona langit malam ini hanya ulas senyum tipis. Sarung yang digulung guna jadi bantal kepala lantas Hema tarik demi selimuti betisnya yang mulai dikecupi runcing moncong nyamuk. Ganti kedua lengan yang menopang belakang kepala supaya tak langsung rasakan kerasnya kayu dipan. "Adiwarna; indah sekali," kata pemuda itu dalam bisik. Agak perih hatinya ketika ingat bahwa di masa depan Mahesa tak kesampaian jadi penulis. Tak sempat. "Terus kalau kamu bikin buku tentang aku, judulnya apa, 'A?"

Mahesa bergumam selagi mencari kosakata yang pas untuk disemat pada sampul buku jika halamannya berisikan banyak kata yang jelaskan sosok Hema. "Nista?" katanya dengan nada ragu, tetapi kemudian ia tergelak lantaran lengannya kena sikut Hema yang tersinggung. "Becanda. Kamu tuh mirip cahaya matahari di pagi hari, Hem. Menghangatkan apa-apa yang ada di sekitarnya. Jadi, Arunika. Buku tentang kamu bakal aku kasih judul Arunika; cahaya matahari terbit."

Hema mengulum senyum. Suka. Puas. Sebab mengira mungkin Mahesa jadi salah satu orang yang mampu Hema hangatkan dengan keberadaannya. "Kalau Nata? Reyhan? Terus si Jere?"

Kekehan Mahesa lolos sebelum ia memprotes, "Banyak amat, oi!" Akan tetapi tak urung ia menjawab juga, "Nata, dia punya mata yang cantik. Orang-orang bisa tau dia orang baik cuma dengan ngelihat matanya. Apa yang lagi dia rasa bisa mudah diraba dari matanya. Mata dia hidup banget."

Hema mengangguk samar. Kelewat setuju. "Berarti judulnya Nayanika?"

"Eh?" Mahesa terdengar kaget, sampai menoleh segala demi melayangkan tatapan takjubnya. "Kamu tau-tauan soal kosakata kayak gitu tuh aneh lho, Hem. Nilai bahasa Indo kamu di rapot kan segaris KKM. Ah, tau aku, kamu ngehafalin begituan buat gombalin Thalia, ya?" tuduhnya yang kontan membuat Hema menggeleng cepat.

"Buset, 'A. Enggak! Kemarin abis baca buku aja terus tumben-tumbenan nih ada yang nyangkut di otak." Padahal, ini adalah ingatan dari masa depan. Hema di usia remaja boro-boro suka membaca, baru membuka halaman pertama saja pening langsung terasa. "Lanjut, lanjut ke Reyhan sama Jere." Dengan sigap ia alihkan pembicaraan.

Mahesa mendengkus, tetapi memilih untuk tidak memperpanjang bahasan perihal Thalia meskipun sebenarnya ini adalah momen empuk mengejek Hema sampai pemuda itu kehabisan cara untuk mengelak. "Reyhan ...." Ada jeda cukup panjang yang dipakai Mahesa untuk memilah-milih kata. "Dia cerewet kan, ya—haha ... tapi dia peduli. Omelannya bentuk kepedulian yang bikin kita ngerasa diperhatikan dan disayang. Jadi mungkin, Nuraga, karena rasa simpati dia ke sesama gak main-main tulusnya. Kalau Jere, dia keliatan kokoh, kuat, tangguh. Lihat Jere kadang ngingetin aku ke batu karang yang tetep angkuh di posisi bahkan meskipun diterjang ombak berkali-kali. Kepribadiannya abstrak, sulit dibaca. Dia dingin, tapi sejatinya hangat. Tapi hangat yang dia punya enggak bisa dirasa sembarang orang. Kita harus mendekat untuk tau dia hangat. Niskala; kokoh dan abstrak."

[✓] Second ChanceWhere stories live. Discover now