Happiness - 19

418 56 20
                                    

Sebenarnya, kehidupan Han itu tidak rumit, Han sendiri lah yang memeperumit segalanya. Jika ia bisa berdamai dengan segala hal, tentu saja segalanya akan menjadi lebih mudah bukan?

Sekarang, ia sedang mencoba merelakan segala hal. Mulai memaafkan yang bersangkutan dan melupakan hal yang tidak patut diingat. Ia pikir akan sulit, tapi ternyata ini tidak se-sulit itu. Kini, ia merasa jika kehidupannya menjadi lebih tenang dan melegakan.

Merelakan memang tidak mudah, tapi ternyata merelakan tidak seburuk itu. Memaafkan juga tidak seberat yang dipikirkannya, justru dengan memaafkan kehidupannya menjadi semakin tenang.

Kini, Han sudah merelakan dan memafkan segalanya. Ia sudah menerima segala yang terjadi padanya, mau baik ataupun buruk. Ia percaya jika takdir Tuhan memang yang terbaik. Mungkin memang di depan sana terdapat banyak kebahagiaan untuknya, yah, mungkin saja.

"Han, Kamu gak mau nikah gitu? Kamu itu udah kepala tiga loh. Hyewon aja udah nikah, masa Kamu belum."

'Terus kalo belum kenapa--?!.'

Ingin rasanya Han membalas seperti itu pada Bibinya, tapi ia tidak boleh seperti itu, kecuali kalau ia sudah benar-benar kesal. Tak bisa melampiaskan emosi dengan perkataan, Han meremas gagang pisau di tangannya dengan gemas.

"Kalo gak sekarang, mau kapan Kamu nikah? Keburu tua, gak ada yang mau lagi nanti."

Kembali, pertanyaan yang akhir-akhir ini sering ia dengar kembali terlontar dari bibir Bibinya--Mirae. Ia menghembuskan nafas pelan, merasa lelah dengan pertanyaan itu yang mulai terdengar juga dari bibir orang lain.

"Kapan nikah?."

"Calonnya mana?."

"Kenapa belum nikah?."

Pertanyaan itu benar-benar membuatnya kesal sekarang. Jika awal-awal mereka hanya bertanya sekedarnya, sekarang mereka bertanya sudah seperti wartawan yang tengah diburu waktu dan atasan.

Pertanyaan mereka memang berbeda, tapi tujuannya tetap sama, yaitu 'Pernikahan'! Memang kenapa jika ia belum menikah? Ia juga belum tua. Di Korea, umur tiga puluh itu masih muda. Entah jika di Negara lain, ia tidak ingin tahu.

"Anak bujang malah ngelamun. Ayo cepet potong sayurnya!."

Mengerjapkan mata, Han kemudian menatap Bibinya yang tengah menggoreng ayam. Ia pun kembali mengerjakan pekerjaannya, memotong banyak sayuran untuk dibuat hidangan makan malam.

Sore nanti, Bibinya akan mengadakan acara makan malam bersama, sebagai rasa syukur atas kelahiran cucu keduanya, yaitu anak kedua dari Hyewon dan Suaminya--Jang Seobin.

Tidak banyak yang diundang, hanya kerabat terdekat saja. Oh, bukan hanya kerabat, mantan teman-teman satu grupnya pun ikut diundang. Intinya, Bibinya mengundang orang yang memang dekat dengan keluarganya.

Acara akan dimulai pukul enam sore, yah, seperti jam makan malam biasanya. Bibinya menyesuaikan dengan pekerjaan para pria yang akan datang, yang mayoritasnya seorang pekerja kantoran yang akan pulang sekitar pukul empat atau lima sore.

"Kenapa gak pesen aja sih, Bi?." Bukan Han tidak ingin membantu Bibinya memasak dan menyiapkan segalanya, tapi memang ia penasaran. Mungkin karena moodnya tengah down karena pertanyaan tadi, jadi perkataannya terkesan ketus atau semacamnya.

"Mereka mau masakan Bibi, bukan orang lain." Mirae menjawab sekenanya, tak mempermasalahkan nada tak mengenakkan sang keponakan.

"Ya terus ngapain Han bantuin? Bukannya itu jadi bukan masakan Bibi lagi?."

"Kamu ini!." Han segera mengaduh saat sang Bibi memukul punggung tangannya dengan spatula. Oh ayolah, itu menyakitkan dan spatula itu kotor! Beruntung spatula itu tidak panas karena belum dicelupkan lagi ke dalam minyak.

Happiness | Han Ji-Sung HaremWhere stories live. Discover now