Cerpen 8: Suryo, Kuat Seadanya

1 0 0
                                    

“Suryo!”

“Suryo!”

Panggilan demi panggilan itu menjadi awal mula kehancuran seorang anak manusia. Beban hidup tak memandang usianya yang baru genap lima belas tahun.

“Harus sabar, ikhlas, lagi qanaah ya, Nak. Doakan semoga Bapakmu khusnul khotimah.”

“Jadi anak yang baik untuk Ibumu, dan kakak yang penyayang untuk adik-adikmu ya, Suryo.”

“Jangan suka nakal sama Ibumu. Kasihan dia.”

Suryo menerima setiap belas kasihan dan nasihat yang menerpa pundaknya dalam bentuk usapan hangat. Sedikit ‘pun ia tidak menangis, bahkan tatkala tubuh kaku berbalut kafan itu turun ke liang lahad.

Setelah dirasa sepi, Suryo mendekat pada ibunya, menatap dengan penuh cinta, mencoba menyalurkan rasa tegar yang sedari tadi ia pertahankan. Akan tetapi, perihnya luka ditinggalkan tentu saja tak serta merta hilang, Suryo akhirnya mendekap ibunya seraya menangis dalam diam.

“Jadi anak yang baik ya, Nak. Suryo yang paling tua, harus bisa jadi bapak untuk adik-adik,” ujar Ibunya.
Suryo menyeka air matanya, lantas perlahan menganggukkan kepala.

***

“Makasih banyak, Pak.”

Suryo menerima bayarannya sepenuh hati, sebelum melangkah pulang ke rumah dengan perasaan gembira. Setibanya, alangkah tersedunya ia melihat adik-adiknya tengah terduduk lesu menahan lapar, beberapa di antaranya bahkan sudah memegangi perut.

“Ibu, ini sedikit. Tadi Suryo dapat dari hasil jual ikan. Langsung belikan beras saja, ya?”

Melihat betapa gigih dan tulus putra sulungnya, Ibu Suryo tak dapat membendung lagi air mata. Ia menarik Suryo ke dalam dekapan. Lagi-lagi bayangan sosok teman hidupnya menguar. Suryo benar-benar duplikat mendiang suaminya.

“Maafkan Ibu ya, Nak, Ibu nggak bisa mencukupi kebutuhan kita. Ibu nggak bisa jadi seperti Bapak.”

Suryo menatap Ibunya, lantas menyeka linangan air mata itu dengan lembut. “Nggak apa-apa, Ibu. Jangan sedih, ya.” Ia tersenyum, berbanding terbalik dengan hatinya yang menjerit hebat.

***

Tahun demi tahun berlalu, membawa Suryo tumbuh menjadi sosok pria berperawakan tinggi, yang malangnya ... kehidupan tanpa peran ayah membuatnya tak karuan.

“Suryo!”

Seorang wanita yang tak lagi muda berlari tergopoh dengan napas terengah-engah, menenangkan putranya yang seperti kesetanan. Ia mengambil paksa parang yang digenggam kuat oleh Suryo, lantas menamparnya.

“Mereka yang mulai, Ibu! Mereka yang mengatai Ibu!” Tamparan keras di pipi tak membuat Suryo gentar, ia masih meracau dengan urat-urat leher yang menegang.

“Lihat Ibu! Tatap mata Ibu, Suryo!” pinta Ibunya, tetapi Suryo masih enggan balas menatap. Hening sejenak, keduanya terhanyut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya, Ibu Suryo menghela napas seraya lanjut berkata, “Dengar baik-baik ucapan Ibu, Nak. Bukan begini cara membalasnya, bukan dengan cara yang sama seperti yang mereka lakukan pada kita, bukan dengan keburukan serupa. Seumur hidup, Ibu nggak merasa pernah mengajari Suryo begini, ini bukan sifatnya Suryo anak Ibu.”

Suryo bungkam. Perlahan tapi pasti, Ibunya mulai menangis. Dibawanya sang putra ke dalam dekapan. Menit berikutnya, Suryo ikut menumpahkan air mata.

“Maafin Suryo, Ibu. Suryo nggak terima dengar orang-orang bilang kalau Ibu godain suami orang. Mulut mereka jahat, Ibu, padahal kita nggak pernah jahat sama mereka. Mereka begitu karena nggak ada Bapak, kalau aja Bapak masih ada, Ibu. Kalau aja Bapak masih ada.”

Kalau aja Bapak masih ada ....

***

“Sudah, jangan minum lagi, Suryo! Kamu sudah minum banyak.”

Suryo mendorong tubuh yang berusaha menghadangnya. Matanya menyala hebat, menatap penuh kebencian. Ia meraih kembali sebotol minuman haram, lantas meneguknya tandas hingga tak tersisa.

“Kamu kalau ada apa-apa mending cerita, Suryo. Nggak kayak biasanya kamu minum sebanyak ini.”

Temannya masih saja mengingatkan, meski nyalinya menciut ketika Suryo mendekat dengan sorot mata tajam.

“Lu mending diam, Panji! Lu nggak tahu apa yang gua rasain selama ini!” Bengis, itu yang menguar di sekeliling Suryo. Sorot matanya seolah mengatakan bahwa ia lelah dan benci secara bersamaan. Lagi-lagi, ia mendorong temannya. Kali ini lebih keras. “Hidup tanpa Bapak itu sakit, Panji! Gua, Ibu dan empat adik gua harus berusaha keras buat bertahan hidup! Tanpa Bapak, jiwa gua sebenernya udah mati dari kecil, yang hidup cuma badan. Gua capek!” pekiknya.

Sebab sudah lama mengenal Suryo, sosok teman yang dipanggil Panji itu masih berusaha mengingatkan. Ia tidak mau suasana semakin memanas. Ditepuknya sebelah pundak Suryo. “Iya, Suryo, mending kamu pulang. Ibu dan adik-adikmu pasti sudah menunggu di rumah. Malam ini sudah terhitung seminggu kamu belum pulang.”

Suryo sedikit terperanjat mendengar itu, teringat sesuatu. Segera, ia melempar bangkai botol minuman haram yang sedari tadi di genggaman kirinya. Tanpa pikir panjang, ia mengambil langkah cepat menuju suatu tempat.

Hati Suryo berdenyut nyeri setibanya di tempat tujuan. Ingatannya melesat pada peristiwa sepuluh tahun silam. Napasnya terengah, bibirnya kelu, dan kakinya kian lemas. Bendera berwarna kuning itu selalu menjadi mimpi buruknya.

“Ibumu terus saja memanggil nama putra sulungnya, biarpun itu adalah di helaan napas terakhirnya. Ke mana saja kau, Suryo?”

Ke mana saja kau, Suryo?

Kalimat itu terus berputar di kepala Suryo seperti kaset rusak, bahkan sampai satu tahun setelah kematian Ibunya berlalu, membuat hidupnya kian semakin mengerikan.

Bulan demi bulan Suryo lewati dengan penyesalan, mengakibatkan tubuhnya ringkih seperti hanya tinggal tulang. Ia tidak mau berinteraksi dengan orang-orang. Ia hanya mau berdiam diri di dalam kamar, menatap kosong ke depan, dan sesekali menangis tersedu-sedu. Semua itu berlanjut sampai menahun, terlebih hingga beberapa adiknya mulai berumah tangga.

“Sebenarnya apa yang kau pikirkan, Suryo? Apakah dengan begini orang tuamu akan bahagia di akhirat sana?”
Suryo yang tengah duduk di atas pembaringan ‘pun sedikit terperanjat tatkala suara itu merdu terdengar. Sudah lama sekali ia tak mendengar suara itu. Padahal belasan tahun lalu, suara itulah yang menemani malam-malamnya.

“Kau sedang apa? Menyesal, menyalahkan Sang Pencipta, atau justru menyiksa diri sendiri?”
Suryo masih bungkam. Tatapannya kini kembali kosong menyorot ke depan, seolah-olah tak merasakan kehadiran seseorang.

Sosok teduh itu akhirnya duduk di samping Suryo. Hening menyelimuti keduanya selama beberapa menit, sebelum akhirnya ia kembali bersuara lembut dan tenang. “Abah yakin kamu bisa melewati ini semua, toh Abah tahu kalau kamu tidak akan lupa perihal Allah yang tidak akan memberikan beban melebihi batas kemampuan hamba-Nya. Kalau kamu lupa, biar Abah ingatkan. Dengarkan baik-baik.
Ketika Allah memberikan ujian pada hamba-Nya, itu tak lain karena Allah tahu hamba-Nya bisa melewati ujian tersebut, hamba-Nya bisa menjadi pribadi yang lebih baik setelah mendapat pelajaran dan hikmah dari ujian tersebut.

Sederhananya seperti ... Allah memberitahu hamba-Nya gelap gulita supaya hafal terangnya pelita. Kalau saja kita tidak pernah merasakan berada dalam gelap, bagaimana kita bisa tahu bahwa ini terang? Mungkin kita tidak akan tahu bahwa ini terang, bahwa terang lebih nikmat daripada gelap. Sederhananya begitu. Ini tak lain karena Allah sayang pada kita.”

Pelan-pelan, Suryo bisa merasakan usapan hangat di punggungnya. “Jadi, lewati ujian ini, Suryo. Temukan cahaya terang itu dan sudahi kegelapan ini. Kembalilah pada Penciptamu, yaitu Allah.”

Perlahan tapi pasti, Suryo menangis sejadi-jadinya, menumpahkan sesal yang selama ini bersemayam. Tatapannya lambat laun terisi, sehingga ia mampu berkata, “Doakan saya, Pak Kiai.”

***

Aku menatap pria itu tanpa berkedip, sungguh terkagum-kagum melihatnya elok mengenakan peci. Tampan sekali.

“Gimana? Ayah kelihatan masih tujuh belas tahun ‘kan?”

Aku tergelak mendengar penuturannya. Ia dengan segala candanya adalah damai penuh makna pada wajah yang tak lagi muda. Tak lupa, aku mengangguk-anggukan kepala seraya memberikan jempol dua. “Ganteng pakai banget, Yah!” kataku.

Momen-momen seperti ini selalu mampu mengingatkanku pada setiap cerita pilunya. Ayah dengan segala ceritanya adalah bentuk nyata dari lelah yang kuat bertahan meski sempat tanpa arah. Aku selalu bangga padanya karena berhasil menjadi seperti sekarang, setelah segala apa yang menimpanya di masa dahulu.

Ayah hebat, Ayah keren, Ayah luar biasa. Kelak, akan kuceritakan pada dunia betapa istimewanya ayahku ini.

“Sudah ah, ayok kita berangkat ke Mesjid.”

“Berangkattt!”

SELESAI

Biodata Penulis:

Siti Solehah, seorang gadis kelahiran Cirebon 2005 ini sudah menekuni dunia literasi sejak duduk di bangku kelas 2 Madrasah Tsanawiyah. Hobinya mendengarkan orang lain bercerita, membawanya menjadi seorang penulis amatir. Ia sempat menerbitkan satu novel dan beberapa cerpen serta puisi. Beberapa karya digitalnya bisa ditemui di Wattpad dan Instagram.
• Wattpad : @Stslhh
• Instagram : @stslhh16

Cirebon, 22 April 2024

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 22 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CERPEN Jemari Imajinasi Where stories live. Discover now