10. Suka Juga

299 55 16
                                    

Adu mulut antara Nata dan Widia yang sekarang sedang Hema saksikan adalah peristiwa yang di masa depan bakal jadi bahan olok-olokan abadi. Pasalnya dua yang tengah cekcok itu di kemudian hari berakhir sebagai sepasang suami istri. Mereka betulan mengadopsi dengan baik wanti-wanti yang berbunyi, "Jangan terlalu benci, nanti malah suka." Nah, begitulah yang terjadi pada Widia dan Nata. Di detik ini berebut kursi hingga saling mengatai, saling berbalas pelototan, Nata di mata Widia terlihat bagaikan manusia paling jahat sedunia, Widia dari sudut pandang Nata pun sama jeleknya—di jutaan detik berikutnya justru saling memuja. Takdir memang begitu, ya. Sulit diterka ke mana akan bermuara. Sungguh abu. Yang pasti, tak ada kemustahilan di depan sana.

"Kamu kan cowok, ngalah dong sama perempuan!" Tinggi badan Widia yang  lebih pendek dari Nata membuatnya harus mendongak. Dia sudah begitu selama lima belas menit, agak pegal juga. Namun, ia tidak akan menyerah. Berhubung ia bukan murid teladan—tidak ada niat untuk menjadi—kursi di barisan paling kanan dan paling belakang ini haruslah jadi miliknya. Itu adalah titik teraman untuk tidur sebab tak begitu terjangkau pandangan guru.

Nata melengos sekejapan hanya untuk membuang napas kasar. Lalu ia balik meluruskan tatap, sedikit menunduk sebab lawan bicaranya mini. "Bukan masalah cewek-cowoknya, tapi kan aku yang duluan datang dan duduk di sini. Siapa cepat dia yang dapat atuh. Lagian cewek tuh duduknya di depan. Di belakang bagian cowok-cowok—"

"Sejak kapan ada aturan kayak gitu?!" Alis Widia menukik tajam, tampak sangat jengkel. Namun, muka marah gadis itu tidak membuat Nata gentar. Malah pengin Nata cubit kalau saja bukan dia yang sedang adu mulut dengan gadis lucu berambut sebatas bahu itu. Demi Tuhan, walau Nata pikir tingkah Widia menyebalkan minta ampun, tetapi kalau bicara seperti barusan, bibir mungilnya kelihatan sedikit menggemaskan.

"Sejak kapan juga cowok harus ngalah sama cewek, hah?" tantang Nata, mengabaikan teguran Reyhan yang memintanya untuk menyudahi perdebatan tersebut. Nata malah melipat tangan di dada, layangkan tatapan dinginnya. "Kalau kalah tuh ya legowo gitu lho, nggak usah nyari alasan biar bisa menang. Udah sana, cari kursi lain. Jangan di depan atau di belakang aku, eneg aku lihat kamu."

Hema meringis samar, agak ngilu mendengar kata-kata sadis Nata. Sementara Reyhan melongo sesaat karena terkejut mendapati Nata bisa berkata sejahat demikian padahal biasanya tak begitu pada perempuan.

"Udah, eh." Reyhan menarik mundur bahu Nata, lalu membisikinya, "Kalem maneh, Na. Ngalah aja kita. Di pojok kiri tuh masih kosong, ke sana aja—"

"Di sebelah sana keliatan jelas dari meja guru, aing gak bisa tidur dong kalau gitu. Udah paling bener di sini."

"Ya gak usah berantem sama cewek juga. Malu dilihatin sama yang lain."

Nata reflek mengedarkan pandang ke sepenjuru kelas, lantas mengernyit. "Saha sih yang ngelihatin? Jurig?" Pasalnya seisi kelas masih minim orang. Hanya ada Reyhan, Widia, Hema, dan Nata. Ya Hema memang sedang menonton dengan ekspresi tampak menikmati sih dari kursi di depan meja yang diperebutkan Nata dan Widia. Namun, buat apa malu ke Hema? Pemuda itu lebih malu-maluin.

"Udah ah, anying. Kasian Widia mau nangis tuh." Dagu Reyhan mengedik ke arah Widia, bikin Nata ikut beri lirikan sekilas—lirikan sinis yang membuat Reyhan mengembuskan napas lelah.

"Apa?" tanya Widia jutek. Tak terima dikasihani. Nangis? Enggak, ya! Dia cuma merasa matanya agak perih usai Nata bilang eneg melihatnya. Sedikit sakit hati sebab seumur-umur baru ada omongan begitu keluar dari mulut lelaki. Di saat cowok-cowok lain akan langsung luluh hanya dengan satu senyum Widia saja, kenapa cowok nyebelin di hadapan Widia ini tega mengatakan hal sejahat demikian?

"Kamu yang apa?" Nata menyahut sama ketus. "Pindah buruan sana."

"Nggak mau, mau duduk di sini."

"Nggak bisa, ini kursiku!"

[✓] Second ChanceWhere stories live. Discover now