Bekas yang begitu dalam

385 16 0
                                    

Takdir memang tidak ada yang tahu bakal seperti apa kedepannya. Begitupun Nai, dia begitu yakin akan bekerja lama di rumah Daniel, tapi ternyata bankan dia tidak bisa bertahan selama tiga hari.

Sebenarnya apa yang Nai harapkan? Dia terlalu percaya diri untuk bisa bekerja di rumah Daniel, atau pun memilih tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi. Dan kenapa Nai begitu bersemangat membuat Bara bisa suka dengannya? "Membuatkan makanan enak untuk bara?" Nai terlalu sombong dan percaya diri,  seharuanya dia tidak selancang itu. "Menghukum Bara saat dia melakukan kesalahan?" Nai sudah berlebihan.

Setelah pemecatan tadi, Nai sering melamun, dia terus merenung memahami apa yang terjadi baru-baru ini. Dia mencapai kesimpulan yang lumayan memukul hatinya. Apalagi ditambah sakit hati akibat mantan suami, membuat Nai terlalu terobsesi untuk melakukan hal diluar kebiasaanya.

Sedangkan tangannya terus bekerja memasukan baju ke dalam tas dan pikiran terus menelaah sampai Nai mendapatkan pencerahan, dan karena inilah dia harus lebih hati-hati lagi kedepannya.

"Nai, kamu beneran dipecat sama ibu?" tanya Hani, dia datang ke kamar Nai buru-buru saat Hera memberikan pesan.

Nai menatap Hani sendu. "Iya, Bu. Meski Bu Hera tau aku gak bersalah, tapi dia tetap memecatku."

"Kamu yang sabar, ya, Nai. Kita semua tahu, bahwa makanan buatan kamu itu aman, ibu lihat sendiri saat kamu memasaknya." Hani menenangkan Nai yang terlihat sedih.

Nai tersenyum tulus menatap Hani. "Terimakasih, Bu. Tapi meski begitu aku tetap yang disalahkan di sini, ya." Emosi dalam hati Nai yang terus dia pendam, membuat pikirannya menjadi aneh.

"Nona Naura memang kesayangan Nyonya, Nai. Karena Nona Naura putri satu-satunya sahabat Nyonya." Nai kembali menatap Hani, dia jadi paham kenapa Hera begitu ngotot untuk membela Naura.

Nai kemudian mengangguk paham. "Aku jadi paham sekarang, Bu. Nyonya hanya ingin melindungi Naura." Nai mencoba untuk kembali memahami keadaan. "Melindungu Naura dariku," lanjut Nai dalam hati.

Ingatan saat masa SMA pun kembali terlintas, bagaimana Hera begitu menentang hubungan Nai dan Daniel. Sekarang dia jadi tahu alasannya kenapa. Hera ternyata punya pilihan lain yang mungkin itu lebih baik. Nai sendiri seharusnya sudah tidak boleh kembali dalam hidup Daniel, meski itu hanya sebagai pekerja Daniel.

"Nyonya ada menitipkan upah kamu seharian ini, Nai." Hani mengeluarkan amplop, lalu langsung diberikan pada Nai. "Ada juga uang kompensasi."

Mendengar ada uang tambahan, membuat Nai merasa tidak enak dengan Hera. "Apa aku pantas mendapatkan uang itu, Bu?" tanya Nai merasa dia tidak pantas dengan uang pemberian Hera. "Aku kan baru satu hari kerja di sini, malah sehari pun tidak full.

"Ini hak kamu, Nai. Semuanya sudah ada dalam kontrak. Jika pihak kedua memecat pihak pertama selama masa percobaan, maka pihak kedua wajib membayar denda." Hani menjelaskan dengan rinci pada Nai sesuai apa yang dikatakan Hera.

Nai mengangguk mengerti, apa dirinya bisa mengambil uang pemberian Hera? Dia bisa saja mengambil uang itu untuk bekal di kota, tapi hati Nai sangat berat. Seperti mengatakan bahwa uang itu bukan haknya Nai. "Aku tidak bisa mengambil uang itu, Bu. Aku malu kalau mengambil uangnya."

"Nai, ini hakmu, ambillah... Nyonya melakukan ini bukan hanya padamu, tapi pengasuh sebelumnya juga selalu diberi kompensasi... Bahkan kami juga dapat, kalau nyonya memecat kami." Hani mencoba terus menjelaskan, supaya Nai mengambil uang kompensasinya.

Dengan hati tidak enak, Nai mengambil uang kompensasi dari Hera. "Aku akan mengambil uang ini, Bu."

"Iya, Ambilah, ini hakmu." Hani memberian amplop pada Nai. "Setelah ini kamu mau ke mana, Nai?" tanya Hani kemudian.

"Aku akan cari kontrakan, Bu. Lalu mencari pekerjaan baru." Nai menjelaskan rencananya kedepan. "Oh iya, apa ibu punya info lowongan pekerjaan?" tanya Nai penasaran. Dia tentu harus segera mencari pekerjaan baru, tidak mungkin harus kembali ke kampung halaman, disana tidak ada tempat kembali.

"Untuk pekerjaan ibu belum punya info, Nai, tapi kalau info tentang kontrakan ibu punya," jawab Hani sembari mengingat-ingat. "Kontrakan tempat ibu dulu, harganya juga terjangkau, kamu bisa ke sana, Nai, jaraknya juga tidak terlalu jauh."

Nai mengangguk mengerti. "Aku boleh minta alamatnya, Bu? Dari pada mencari sendiri akan memakan waktu," pinta Nai sembari menutup tas yang sudah dipenuhi bajunya.

"Boleh, Nai. Ibu kirim lewat pesan singkat, ya." Hani langsung memberikan alamat kotrakannya dulu.

"Terimakasih, Bu, untuk semuanya." Nai merasa bersyukur karena bisa kenal dengan Hani yang baik hati.

"Kamu jangan sungkan, Nai. Kita sama sama sendiri di kota ini, jadi kita harus saling bantu," ucap Hani membuat Nai jadi mendapatkan banyak sekali pelajaran di hidupnya saat ini.

Hari sudah semakin sore, setelah Nai menunailan sholat asar, dia langsung pergi dari rumah menuju kontrakan yang disarankan oleh Hani. Daerahnya sedikit jauh dari perumahan elit, malahan harus masuk ke dalam gang, tapi menurut Nai, tempat ini setidaknya jauh lebih baik dari rumah Daniel dan Danu di kampung.

"Permisi, Bu. Saya mau mengontrak, kata Bu Hani di sini ada yang kosong," sapa Nai pada ibu-ibu yang sedang duduk di depan rumah.

Ibu-ibu itu terdiam menatap Nai, dia baru saja menerima panggilan dari Hani. "Ah... Iya... Tadi Hani baru saja nelepon, kamu Naila, ya, yang akan tinggal di kontrakan saya?"

"Iya, Bu. Saya Naila," jawab Nai dengan sopan

"Kalau begitu ini kunci kontrakannya, di kamar nomor sembilan, di ujung, ya, Nai." Ibu kontrakan itu berbicara sembari memberikan kunci pada Nai.

Nai mengangguk, "Terimakasih, Bu. Ini uang untuk satu bulan ke depan," jawab Nai memberikan uang sewa.

"Iya, terimakasih, juga. Semoga kamu betah, ya." Nai mengangguk, dia kemudian panit dengan sopan.

Kontrakan baru Nai sangat bersih, berjejer dua baris saling berhadapan. Kamar punya Nai sendiri berada di ujung, yang mana dia harus sedikit jalan untuk sampai. "Semoga aku bisa hidup lebih baik lagi kedepannya."

Disaat Nai sudah menemukan tujuannya yang baru, Daniel terlihat turun dari mobil. Dia menenteng beberapa kresek berisi makanan untuk Bara dan lainnya.

Daniel kini sudah berada di kamar Bara, di dalam hanya ada Bara dan Hera. "Pengasuh Bara di mana, Bu?" tanya Daniel penasaran, dia tidak menemukan Nai di kamar Bara.

"Sini duduk, El...." Hera mengintrusikan Daniel untuk duduk di sofa, meninggalkan Bara yang sedang makan buah di tempat tidur.

Daniel duduk. "Ada apa, Mah?" tanya Daniel kemudian.

"Mamah sudah memecat Naila." Ucapan Hera membuat tubuh Daniel diam menegang. "Keputusan mamah ini sudah yang terbaik untuk kita, kamu jangan menentang mamah."

"Kita kan sudah berbicara, Mah, Naila tidak bersalah, dia melakukan tugasnya dengan baik." Daniel mencoba tenang, dia tidak mau membuat mamahnya khawatir.

"Kita cari lagi pengasuh yang lain, Nai memang baik, tapi orang-orang disekitarnya jadi tidak normal," ucap Hera sembari menatap anaknya lekat. "Sebentar lagi kamu dan Naura akan menikah, jadi kita tidak butuh pengasuh lagi."

Daniel menghembuskan nafas berat. "Baiklah mah," ucap Daniel dengan nada suara dingin. Dia tidak bisa membantah ibunya. Di dunia ini ibunya adalah nomor satu, apalagi Hera mempunyai jantung yang lemah.

Sekali lagi, Daniel tidak bisa memperjuangkan keinginanya. Selalu akan ada Hera yang merantai kaki pria itu.

Mengasuh Anak MantanWhere stories live. Discover now