Setelah pertengkaran kecil itu, kepala Chandra berakhir dengan benjolan besar. Jendral hanya tertawa ketika tahu apa yang sudah terjadi. Kini lelaki itu duduk memperhatikan si bungsu kesayangan mereka yang asyik membaca ensiklopedia bergambar yang pernah Alan belikan di teras rumah.
Tatapan Jendral beralih memperhatikan punggung tegap Naka yang sibuk mencuci piring bekas makan siang adik adiknya. Mendengar cerita Naka tentang bagaimana Aji dan Chandra bertengkar tadi membuat Jendral termenung, lelaki itu memutar mutar jari telunjuknya pada bibir cangkir teh hangat yang Naka buat beberapa menit lalu.
"Kadang gue suka lupa kalau Aji dan Letnan masih anak anak."
Tangan Naka yang tadinya hendak membilas piring mendadak terhenti mendengar ucapan saudara kembarnya.
"Gak seharusnya kita libatkan mereka untuk urusan kayak gini. Mereka masih terlalu kecil untuk mengerti."
Suasana di dapur mendadak sendu setelah Jendral berbicara. Sorot mata Naka meredup, mendadak dia juga ikut merasa bersalah. Canggung dengan situasi, Naka kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Hanya ada suara perabotan makan yang ditumpuk setelahnya.
"Na."
"Hmm?"
"Gue kangen ayah disini bareng kita."
Lagi dan lagi, ucapan Jendral membuat Naka membeku di tempatnya. Kita menatap sayu ke arah wastafel tanpa berniat membalik badan.
Jendral jarang sekali membicarakan ayah, Naka bahkan tak ingat kapan dia membicarakan ayah mereka itu. Sepertinya kejadian yang Aji hadapi tadi sedIkit menyentil hatinya.
Waktu ayah meninggal, alih alih bilang kalau semuanya akan baik baik saja, Jendral justru bilang,
"Nanti juga terbiasa."
Menyakitkan memang. Tapi itu tidak sepenuhnya salah. Lucunya, waktu ayah baru baru meninggal, Naka sering sekali memasak lebih, dia memasak nasi dengan porsi untuk 9 orang, lantas berakhir basi karena kelebihan. Naka juga sering menaruh piring lebih di meja, dia sudah terlalu terbiasa sehingga lupa kalau ayah dan bundanya sudah tak lagi bersama mereka.
Dan dia melakukan kesalahan yang sama besoknya lagi, lagi, dan lagi. Sejak saat itu, Jendral selalu menemaninya di dapur, kadang menjahilinya, dan tanpa sadar, hal itu menjadi kebiasaannya, jaga jaga kalau Naka lupa dan masak lebih lagi, sampai pada akhirnya Naka terbiasa dengan jumlah mereka yang sekarang.
"Gue juga..."
Jendral terkekeh pelan mendengarnya, lalu meneguk teh yang tersisa.
"Lo ingat gak? Waktu itu kita pernah bertengkar karena bunda."
Naka mengangguk.
"Waktu itu juga lo ajak gue untuk lihat semuanya.""Lo kecewa?"
"Soal apa?" Tanya Naka.
KAMU SEDANG MEMBACA
2. Arkana || NCT dream
Fanfiction[PREQUEL : Raga || NCT dream] "Kata orang, harta yang paling berharga itu keluarga. Tapi kalau keluarganya berantakan... kira kira masih bisa disebut berharga, gak?"