11. Meriang

309 62 26
                                    

Pagi itu, suasana kelas sudah ramai. Namun, kursi di depan Hema belum datang penghuninya. Berkali-kali ia menengok ke ambang pintu hanya untuk kemudian menghela napas kecewa sebab yang masuk lagi-lagi bukan Thalia. Reyhan yang duduk di sebelah Hema sampai menggelengkan kepala tidak habis pikir. Nata sendiri masih nongkrong di kantin bersama Mahesa. Katanya ogah masuk kelas lebih awal karena itu berarti lebih awal juga akan melihat wajah tengil Widia. Ya, Hema cuma bisa tertawa menyaksikan betapa alergi Nata pada Widia, padahal di masa depan Nata bakal setengah mati memuja Widia.

"Baca apaan?" tanya Hema.

Reyhan yang tengah membaca koran, membalas pelan, "Lihat jadwal film. Kemarin Jere bilang pengin nonton."

"Di Galaxy?"

Reyhan mengangguk.

"Mending ke King aja, Han. Kangen naik si Ulil." Hema melipat kedua lengan di atas meja, lalu sandarkan pipi di sana. Tatapannya mengarah kosong ke jendela di seberang sana. Menyinggung nama si Ulil, senyuman perlahan menggantung di sudut bibir Hema, samar-samar terlihat nelangsa.

Hema jadinya nostalgia.

Reyhan mendengkus, lantas melipat koran tersebut, menaruhnya ke atas meja. Ia bawa punggung ke sandaran kursi, menjadikan papan tulis yang menggantung di depan sana sebagai titik fokus. "Mana muat kamu naik si Ulil. Udah gede maneh teh, Hem. Udah bisa naksir cewek, padahal tau Thalia baru beberapa hari tapi udah suka." Ia menoleh, demi tunjukan tatapan penuh tanda tanya. Sebab serius deh, Reyhan agak-agak tidak habis pikir. Sejauh ia mengenal Hema, tumbuh bersama sejak kanak-kanak, Hema buka tipe orang yang gampang suka perempuan. Tebar pesona memang hobi Hema, tetapi tak pernah Hema sevokal ini menyuarakan perasaan. Bukan Hema yang keluar karakter, hanya saja mungkin usia yang kian banyak yang membuat Hema berani?
"Becanda atau beneran suka Thalia?"

"Keliatannya?"

Reyhan mengedikkan bahu. "Bingung ngebedainnya. Keliatan becanda, tapi kalau becanda nggak mungkin sampe kebawa mimpi, sih." Reyhan lantas manggut-manggut, seolah-olah telah berhasil menemukan jawaban atas tanya yang sekian hari berlarian di kepala sendiri. "Kayaknya beneran."

Sementara itu, Hema mengerjap. "Eh? Kebawa mimpi gimana?" Hema ikut bingung. Setiap malamnya ia memang memimpikan Thalia, tidak ada malam yang tidak. Namun, kok Reyhan tahu?

"Semalam kamu berisik banget ngigo, manggil-manggil Thalia, baru diem pas dibekap Nata—udah, nggak usah diinget-inget, nggak bakal inget juga."

"Serius?" Hema kaget sendiri.

"Ngapain bohong?"

"Segitunya aku?"

"Makanya aku heran."

Sejurus kemudian Hema justru malah cengengesan. "Bucin banget, astaga ...."

Reyhan mengernyit. "Bucin?"

Oh, here we go again. Hema senyum pongah, istilah-istilah gaul dari masa depan bikin ia merasa jadi manusia paling serba tahu di tahun ini. "Bucin, artinya budak cinta, Han," jelas Hema.

Kernyitan di dahi Reyhan semakin dalam, tetapi ia tak memperpanjang obrolan mengenai istilah yang tidak akrab di telinganya itu. "Iya itu, kok bisa kamu bucin banget ke Thalia?"

Hema cengengesan. "Aku punya firasat Thalia bakal jadi jodohku," kelakarnya.

Ekspresi Reyhan seketika berubah macam orang habis mendengar satu dari sekian hal paling mustahil di dunia. "Pede pisan," cibirnya, lalu menggeleng-gelengkan kepala kecil yang disusul kekehan geli. "Emang sih jodoh tuh gak ada yang tau, tapi ya ...."

"Iya, iya, paham. Kayak mustahil gitu, 'kan?" Hema tersenyum jenaka. Dulu, obrolan ini juga pernah terjadi, tetapi respons Hema nelangsa, beda dengan sekarang di mana matanya berbinar kesenangan. Jelas Hema semringah, kan masa depan tidak menyuguhkan kemustahilan. "Han, hidup tuh nggak berjalan sesuai kemauan kita, tapi sesuai dengan apa yang kita yakini. Baik sangka sama masa depan bikin kita tenang. Kalahin takdir pake doa."

[✓] Second ChanceWhere stories live. Discover now