EDS23 # Tanggung Jawab

527 92 27
                                    

Rudy Emilio dan Amaya Kimura dimakamkan bersisian di sebuah tempat pemakaman umum sederhana di pinggiran Jakarta. Meski sederhana, TPU itu bersih dan terawat, rumput dan sampahnya senantiasa dirapikan dan dibersihkan, bahkan batu nisannya pun selalu terlihat mengilap setiap kali Jero datang. Setidaknya itu bisa membuat Jero bernapas lega karena uang perawatan yang ia gelontorkan setiap tahunnya dipakai dengan baik untuk merawat rumah terakhir bagi orangtuanya, sebab Jero tak bisa sering-sering datang.

Hari ini, bersama Mona, Jero kembali mendatangi dua pusara itu, membawa buket bunga terbaik yang ia beli di toko bunga dalam perjalanan ke TPU, menaruhnya di atas nisan masing-masing, lalu menaburkan kelopak bunga mawar dan menyiramkan air bunga yang ia beli di depan gerbang TPU.

Ia duduk bersila menghadap ke arah keduanya, tak peduli celana jinsnya kotor karena tanah yang akan menempel di sana. Jero duduk, menatap dua nama itu di sana sebelum kemudian menunduk dan memanjatkan doa.

"Tahu nggak?" Mona berbicara ketika Jero sudah kembali mengangkat kepala, perempuan itu ikut duduk di sebelahnya. "Dulu, waktu lo pertama kali bilang kalau lo itu keturunan Jepang, gue nggak percaya."

Jero mendengus.

"Ya, lo tahu, kan? Sekarang banyak orang terobsesi sama Jepang, bahkan ada yang agak gila dengan pengin jadi anime. Gue pikir … lo salah satu dari orang itu." Mona nyengir. "Habisnya, pas gue suruh lo ngomong Jepang, lo bilangnya nggak bisa. Ya, gue makin nggak percaya."

"Mama nggak pernah ngenalin kebudayaan Jepang sama gue," sahut Jero. "Oh! Kecuali makanannya. Itu satu-satunya hal yang Mama kenalkan tentang Jepang pada gue."

"Lo kadang penasaran nggak sama keluarga Jepang lo yang lain? Misal … kakek-nenek lo, atau tante dan om lo, gitu. Nyokap lo pernah ngomongin mereka nggak?"

Jero menggeleng. "Jangankan Mama, Papa juga suka marah tiap gue coba ungkit soal kakak-kakaknya, om dan tante gue."

"Mereka nggak setuju ya bokap lo nikah sama nyokap lo?"

Lelaki itu terkekeh kecil. "Mereka menganggap, orang kayak Papa seharusnya bisa dapet istri yang lebih baik daripada seorang perempuan imigran Jepang yang nggak jelas asal-usulnya. Padahal yang terbaik itu, ya …, Mama, Amaya Kimura." Ia tersenyum menatap nama Amaya Kimura di atas nisan. "Papa tuh pinter, pekerja keras, rajin, pokoknya anak emas banget lah, makanya Nenek sayang banget sama Papa."

"Itu alasan Nek Sanju lebih milih ngurus lo daripada diurusin sama anak-anaknya yang lain?"

Jero membuang napas. "Gue kadang merasa bersalah sama Nenek. Kalau dia nggak ngurusin gue sampai bikin anak-anaknya yang lain marah dan kecewa, pasti Nenek punya kehidupan yang lebih baik dari sekarang. Diurusin sama anaknya di rumah bagus, alih-alih dititipin di panti jompo. Tapi Nenek sering bilang sama gue kalau Papa tuh dulu pas masih hidupnya selalu apa-apa yang diduluin Nenek. Dapet gaji pertama, semuanya dikasih ke Nenek. Kalau lagi pergi keluar, pasti nanya mau dibeliin apa pas pulang nanti. Dibanding anak-anaknya yang lain, Papa sebagai anak bungsu emang deket dan sayang banget sama Nenek, mungkin itu yang bikin Nenek mau ngurusin gue waktu ditinggal Papa pergi, terus ditinggal Mama pergi."

"Berarti sampai sekarang, om dan tante lo nggak pernah jenguk ibu mereka? Atau minimal coba cari tahu gitu."

Jero menggeleng. "Gue juga selalu bilang sama diri sendiri, buat sesusah apa pun hidup gue, gue bakal berusaha sendiri, nggak akan minta bantuan sama mereka sekalipun mereka mampu."

Tangan Mona terulur untuk mengusap kepala Jero, membuat lelaki itu menoleh dan mendengus. "Nyokap bokap lo pasti bangga lihat lo sekarang udah bisa mandiri gini."

Lelaki itu tertawa.

"Mereka cuma nggak bangga aja karena anaknya lari dari tanggung jawab."

"Maksud lo?" Jero mengernyit. "Jangan ngomong yang nggak-nggak di depan orangtua gue, ya. Apa yang lo ucapin barusan kayak seolah bilang kalau gue cowok yang kabur setelah ngehamilin perempuan. Jaga mulut lo."

Ekspektasi Dua SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang