032

3.4K 320 54
                                    

Arson menyeret Devon masuk ke dalam kamar yang ada di markas Sinister. Dia mengunci pintu dan dengan kasar menempelkan tubuh Devon ke pintu tersebut. Arson memandang Devon dengan tatapan marah dan wajah yang tegas.

"Kenapa tawuran!?" bentak Arson secara langsung. "Kemaren siang, lo nangis-nangis ketakutan dan sekarang lo malah tawuran? Apa sih yang lo pikirin, hah?"

Arson merasakan amarahnya memuncak. Rasa khawatirnya pada Devon sudah tidak bisa lagi dibendung. Untuk pertama kalinya Arson merasa ketakutan dan panik akan sesuatu. Tadi, melihat bagaimana anarkis dan brutalnya pergerakan gerombolan orang yang terlibat tawuran membuatnya takut akan terjadi hal buruk yang menimpa Devon.

Semantara, Devon hanya menatap linglung. Perasaan takut mendominasi dirinya karena tindakan kasar yang Arson lakukan. Bibirnya terbuka, hendak memberi alasan, tapi tatapan intimidasi dari Arson membuat Devon merasa gugup. Entah kenapa, hatinya sakit karena merasa sedang disalahkan.

"Coba jawab gua, kenapa lo nantangin Sinister begitu? Sok jagoan iya?" Arson mendengus. "Enggak, Devon. Lo harusnya gak perlu ngelakuin kaya gini cuman buat menuhin ego sialan lo itu. Kan udah gua bilang, jangan pergi tawuran lagi. Sesusah itu kah buat ngerti omongan gua?"

"A—Arson..." cicit Devon yang tidak terdengar di telinga Arson.

"Lo tau gak gua udah kaya orang gila selama tawuran cuman gara-gara mikirin keadaan lo, bangsat? GUA NIH KHAWATIR SAMA LO, NGERTI GAK??" Tanpa sengaja, Arson memukul keras pintu yang berada di belakang Devon dengan tinjunya untuk melampiaskan emosi yang meledak. "BRENGSEK!" teriaknya di depan wajah Devon.

Devon terlonjak kaget dengan tindakan kasar itu. Napasnya terengah, dengan ekspresi ketakutan yang sangat jelas. Perlahan kepalanya mulai berdengung pening, memori-memori buruk mulai muncul dalam ingatannya, membuat Devon menggeleng cepat guna mengusir ingatan menyakitkan itu.

Napas Arson juga tidak beraturan karena berteriak dari tadi. Tatapannya yang tegas memancarkan kilatan emosi, mengamati wajah Devon dari jarak dekat, mencoba mencaritau apa kalimat yang akan keluar untuk menjawab perkataannya. "Coba sekarang gua tanya, lo tuh gak bisa mikir atau apa? Bukannya mentingin kondisi lo sendiri yang lagi gak stabil, malah—"

"DEVONNYA JUGA GAK MAU TAWURAN BEGINI!!" teriak Devon akhirnya membalas perkataan Arson. "U—udah... Devonnya... juga gak mau begini"

Arson terdiam mendapati bentakan balasan dari Devon. Matanya menatap terkejut pada mata Devon yang mulai berkaca-kaca. Arson seperti kembali mendapatkan kewarasannya, dia sadar kalau apa yang baru saja dia lakukan adalah sebuah kesalahan.

"L—lo... Lo yang gak tau apa-apa dasar brengsek!!" maki Devon dengan suara tinggi. Setelahnya, Devon mulai terisak. Tubuhnya merosot ke lantai karena kakinya yang gemetar tidak mampu lagi untuk membuat tubuhnya berdiri.

Dengan kepala tertunduk dan kedua tangan yang menutupi wajahnya, Devon menangis sesegukan sampai nafasnya tersendat-sendat.

Arson jelas panik. Dia ikut berjongkok, hendak merangkul pundak yang gemetar itu, tapi tangannya langsung ditepis kasar.

"J—jangan deket... Jauh sana kamu... j—jahat..." cicit Devon di sela isakannya. Dia bergeser lebih merapat pada pintu.

Hati Arson seolah retak. Sakit sekali ketika mendengar Devon ketakutan padanya. Bodohnya yang baru menyadari bahwa beberapa menit lalu dia baru saja berlaku kasar dan membentak Devon.

"Devon" panggil Arson berusaha membujuk.

Namun, respon yang Devon berikan adalah gelengan cepat. "Enggak... A—Arson jahat"

Sial. Arson terus merutuki dirinya karena lupa kalau Devon adalah makhluk yang sangat rapuh, yang tidak bisa dibentak sedikitpun.

Sekarang, Arson kebinggungan. Devon terus meraung sedih tidak mau dibujuk. Setiap kali Arson mencoba mendekat, Devon selalu menendang dengan kakinya dan menepis dengan tangannya. Sama persis seperti anak kecil yang sedang tantrum di tempat umum.

Secret InnocenceWhere stories live. Discover now