10 | Bookmark

118 21 2
                                    

Turn on a new leaf

_______________

Pukul 12:37, Nia memandang penunjuk waktu di lockscreen ponsel. Pertemuan itu belum terjadi. Ayahnya belum juga datang.

Ia dan William duduk berdampingan di sebuah resto tak jauh dari rumah sakit tempat ayah Nia bekerja. Sedari masuk, mereka tak banyak bicara. Bukan sebab Nia yang sedang menyusun alasan di kepalanya mengapa ia membawa seorang "William".

Ini adalah pertama kali ia menemui ayahnya di Singapura. Selama ini, mama hanya membolehkan ia bertemu apabila ayahnya yang ke Jakarta. Dan secara sembunyi-sembunyi, Nia melanggar itu. Bagi mama, tempat ini dan ayahnya seperti rumah asing yang pantang untuk diketuk tamu. But once, they were a family.

"Darling, I'm sorry." Pria itu berjalan terburu dan memeluknya.

Entah berapa lama sejak terakhir kali pelukan itu pernah terjadi, Nia hampir lupa. Mungkin kala 5 tahun lalu saat ia masih jadi mahasiswa dan ayahnya ke Jakarta dalam rangka menghadiri simposium dokter. Selepas perceraian, tak genap lima jari barangkali jumpa itu terhitung.

"Why are you so thin?"

Nia tersenyum tipis. Tentu saja ia telah berubah. "How are you?"

"Busy, as usual." Dengan rambut yang kini hampir seluruhnya beruban, Nia melihat kerutan di wajah ayahnya menebal, tetapi itu tak menurunkan semangat kerjanya. Sibuk adalah nama tengah andalan ayahnya. Sesuatu, yang tetap hingga saat ini. "Who is this?"

"Oh, this is my friend, Pap." Nia mengenalkan William yang sejak tadi berdiri dengan kedua tangan bertumpu sopan.

Ayah Nia mengulurkan tangan dan pria itu menjabatnya singkat. Ia belum sempat menyebutkan nama. "Aah, workmates?" Ayah Nia menyela.

"No, hmmm." Nia menoleh ke arah William sekilas. "I met him in Jakarta and we just bumped in the way here."

"Hmmm." Mereka mengambil duduk. "Mata kamu bening sekali."

"Pap." Nia melirik setelah sedikit mendengus.

"What?"

"Please come with ordinary compliment."

"It's usual for me. What else I could say?" Ayah Nia menoleh pada William dan memuji, "Kamu tampan, Nak."

Ujung bibir William yang sudah dengan sopan tersenyum kini terbuka lebih lebar lagi, "Terima kasih, om."

"Saya dokter mata, jadi biasa mengamati itu duluan."

"Ah, saya telah mendengar itu. Saya dulu juga melakukan lasik di Rumah sakit sekitar sini."

"Oh ya?"

"Sekitar tahun 2019," William berusaha mengingat. "Saya lupa dengan dokter siapa, mungkin dokter D.. Dave?"

"David Chen?"

"Oh, ya, saya agak familiar dengan nama itu."

"Dia junior saya di NUS. Kerjanya bagus."

"Ah, saya yakin Om lebih ahli. Sayang sekali saya belum kenal Om, jadi belum berobat ke Om."

"No worries. Sometimes eyesight could getting worse again even after few years, so make sure to check up regularly."

"Pap." Nia menengahi pembicaraan. Selain sebab perempuan itu kagum dengan pembawaan William yang begitu tenang menemui ayahnya—barangkali salah satu kelebihan para businessman yang terbiasa menemui client—sebenarnya ia tak punya cukup waktu. Apabila perbincangan mereka diteruskan mungkin akan berlanjut jadi sesi konsultasi pasien. Sejak ayahnya datang, Nia cuma punya waktu 12 menit untuk bertukar rindu.

Salted CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang