13. "Aku Sayang Sama Dia."

5 2 0
                                    

Malam sebelum kelas pagi:

Helaan napas kembali terdengar dan Aldi melirik Fernandes. Sepertinya asumsi yang ada di kepalanya tak apa untuk dikatakan kepada Fernandes. Meski satu sisi Aldi merasa tidak masuk akal

"Nan, gue kepikiran Celia pelakunya." Fernandes langsung menatap Aldi, ia bahkan menyipitkan matanya. Menunggu Aldi mengatakan atas dasar apa ia berpikir seperti itu. "Gak tau kenapa, gue kepikiran aja."

Fernandes berdecak, "Ternyata orang pintar bisa juga bikin asumsi tanpa alasan."

"Kadang asumsi itu gak butuh alasan, Nan."

"Jadi, kenapa lo kepikiran kayak gitu?"

Lagi ..., Nandes menggelengkan kepala. Dia masih memikirkan alasan yang tepat agar apa yang ada di dalam pikirannya bisa tersalurkan kepada Fernandes. Namun, satu hal yang masih jadi pertanyaan bagi Aldi, kenapa Celia menjadikan Fernandes dan dirinya sebagai pelaku.

"Rian mau ke sini," ucap Fernandes setelah mendapatkan notifikasi dari temannya itu. "Katanya dia nemu pelakunya."

Dengan gerakan reflek badan Aldi langsung tegak lurus. Saat Novrian mengatakan jika ia menemukan pelaku, satu nama kembali terlontar dari mulutnya. "Celia."

"Kenapa dia yang lo sebut terus?"

"Karena dia Soni banyak hutangnya. Bisa aja mereka berantem dan Soni ngajak mereka ganti berdua, tapi Celia gak mau. Mungkin dia kepikiran sama ketentuan dari kita, mereka yang meninggal hutangnya bisa lunas," jelas Aldi.

Fernandes mendengarkan dengan serius, tapi akhirnya dia malah tertawa dan mengangguk pelan. "Tapi asumsi lo kejauhan, Di."

"Nan, inget ..., kasus orang yang bunuh pasangannya sendiri lagi banyak banget. Bisa aja Celia ngelakuin itu juga," sambung Aldi dan Fernandes kembali mengangguk.

"Gue terima apa yang lo pikirin, Di," balas Fernandes dan menggelengkan kepala.

Sebenarnya Aldi sudah membayangkan tanggapan Fernandes. Itu sebabnya dia ragu untuk mengatakan asumsinya. Bahkan dirinya sendiri juga meragukan apa yang sedang dipikirkan. Namun, entah kenapa hal itu yang selalu ada di kepalanya.

Novrian datang bersama dengan Satria, sudah hampir tengah malam dan keduanya seperti dikejar hantu. Apalagi wajah putih Satria berubah memerah karena kekurangan oksigen di dalam tubuhnya.

"Mending kalian minum," kata Aldi sambil memberikan dua botol minuman yang kebetulan ada di dekatnya. "Ketemu hantu dekat mana?"

Novrian menggelengkan kepala sambil meneguk airnya. Ia pun mengambil napas dan mulai mengatakan informasi yang ia maksud. Tidak ada ba-bi-bunya, Novrian langsung ke intinya. Tentu saja Aldi dan Fernandes terdiam.

"Lo yakin?" tanya Fernandes dan Novrian mengangguk. "Buktinya gak sekedar omongan aja, kan?"

"Sekarang kita cuma punya HP Soni dan beberapa chat dia sama pelaku. Di lokasi tempat Soni meninggal CCTV-nya rusak dan alat yang digunakan belum ketemu, jadi bukti kita gak terlalu kuat, tapi dengan informasi yang kita punya dan hasil otopsi Soni, kita bisa bikin dia ngaku."

"Jangan sampai orang lain tau dulu, gue mau bersihin nama gue sendiri. Biar gue sama Aldi yang nyelesain sisanya. Makasih buat kalian berdua."

-TIMEOUT-

Pagi ini Sintia dibuat tidak fokus dan merasa kesal dengan Aldi. Temannya itu malah menuduh Celia. Tepat sebelum jam kuliah dimulai, Sintia menarik Aldi keluar kelas. Percakapan mereka semalam masih menyisakan rasa kesal baginya.

"Lo kenapa tiba-tiba nuduh Celia? Apa yang udah dibilang Nandes sama lo sampai lo nuduh temen gue? Dia emang curiga sama Nandes, bahkan sama lo, tapi karena gue ngerasa lo gak mungkin lakuin itu, jadi Nandes bisa aja orangnya."

"Lo harus tanya temen lo dulu sebelum nuduh orang lain, Sin." Tiba-tiba Fernandes muncul dan menepuk bahu Sintia. "Gue udah tau siapa pelakunya," bisik Fernandes dan meninggalkan Sintia yang masih mematung ditempat.

"Siapa?" Sintia mengejar Fernandes dan menahan tangan laki-laki itu. "Lo nuduh siapa lagi?"

Fernandes melepas tangan Sintia dari lengannya. "Lo tanya sama temen yang katanya udah kayak saudara itu. Dia tau siapa pelakunya dan gue rasa dia lebih tau," jawab Fernandes dan pergi dari Sintia. "Ah, satu lagi ..., gue harap lo yang bilang ke Senat Fakultas siapa pelaku aslinya. Soalnya lo berjasa banget buat Senat karena bantu kerjaan mereka."

Tatapan Fernandes jelas berbeda, ditambah dengan senyuman yang tidak bisa didefinisikan. Apalagi setelah Fernandes menyebutkan nama Celia. Apa benar temannya itu tau semuanya, termasuk pelaku yang membunuh pacarnya sendiri.

Sintia harus mendengarkan penjelasan Celia langsung. Adapun Celia menuduh Fernandes dan Aldi, dia pasti punya alasan sendiri dan Sintia ingin menanyakannya tanpa peduli dengan status kehadirannya di dalam kelas.

Sintia mencari Celia, dia tidak bisa dihubungi dan ia juga tak terlihat di kelasnya. Pagi tadi masih ada yang melihatnya menggunakan baju praktek, tapi hingga sekarang Celia tidak terlihat dimanapun.

"Mungkin dia masih kaget, coba kamu lihat di tempat Soni ditemukan atau dia emang ke kuburan Somi."

Tanpa berpikir panjang Sintia menuju tempat Soni ditemukan. Terlalu jauh jika mencari ke tempat pemakaman Soni dan benar dugan teman satu kelas Celia, dia ada di tempat Soni menghembuskan napas terakhirnya.

Sintia memeluk Celia dari belakang. Perempuan itu hanya duduk di tepi ladang yang masih di kelilingi dengan garis polisi. Dia diam dan bahkan tidak merespon ketika Sintia datang.

"Kamu jangan kayak gini, Cel, ikhlasin Soni biar dia tenang dan ...," Sintia tidak melanjutkan kalimatnya beberapa saat, ia menunggu hingga Celia menatapnya kembali. "dan kita hukum orang yang bunuh Soni. Siapapun itu, tapi bener pelakunya, bukan orang yang kamu benci."

Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh. Celia menatap Sintia cukup lama dan ia berusaha untuk tersenyum. "Kamu udah tau siapa pelakunya, kan?" tanya Celia lirih, tapi Sintia menggelengkan kepala.

"Aku belum tau, makanya aku ke sini buat tanya sama kamu. Kamu tau siapa orangnya, kalau kamu gak sanggup balas sendiri, kita serahkan ke polisi. Kita gak usah ikut campur lagi."

Tangis Celia semakin pecah, ia menutup wajahnya, dan Sintia hanya bisa memeluk erat. Ia juga tak bisa berbuat banyak. Hingga keadaan mulai tenang, Celia mendorong pelan Sintia agar melepaskan pelukannya.

Sintia masih mengusap punggung Celia dan temannya itu malah mengulurkan tangannya. "Aku bakal balas dendam ke diri aku sendiri dan aku bakal hukum diri aku sendiri, Sin," ucapnya setengah berbisik.

Detik itu juga Sintia terdiam. Tangan yang tadi mengusap punggung Celia langsung melemah. Ia sedang berusaha mencerna kalimat yang baru saja keluar dari mulut Celia.

"Ma-maksud kamu a-apa?" tanya Sintia terbata-bata.

"Aku sayang Soni dan aku gak mau ngeliat dia nanggung beban aku lagi," jawab Celia. "dia ngutang karena aku minta apapun sama dia dan aku nuntut dia buat penuhi kebutuhan aku. Semuanya karena aku yang minta dan hutang dia udah numpuk sama Nandes. Aku gak mau lagi bikin dia susah, Sin. Di dalam perjanjian hutang Soni sama Nandes ..., hutangnya terhitung lunas kalau yang minjam itu meninggal."

Celia menggigit bibirnya sendiri untuk menahan air mata dan menjelaskan kepada temannya. "Aku sayang sama Soni, Sin, aku sayang banget sama dia dan satu-satunya jalan buat bantu dia ad--"

Sintia menggelengkan kepala, dia bahkan membuat jarak dengan Celia. Sintia belum bisa menerima fakta yang dikatakan oleh Celia.

"Gak mungkin, lo diapain Nandes sampai kayak gini? Ini semua karena dia, kan?" Sintia masih tidak percaya dan beranggapan masih ada hubungannya dengan Fernandes. Namun, Celia menggelengkan kepala.

"Aku nyalahin Fernandes karena aku takut dia nuntut hutang Soni ke aku."

"Kamu masih mikirin hutang? Kamu gak mikirin Soni?"

"Aku mikirin Soni! Makanya aku ngelakuin itu buat dia!" teriak Celia, dia terlihat tidak sehat sama sekali. Sintia terduduk lemah dan mengusap wajahnya, saat ini dia tidak tahu harus berbuat apa dengan perempuan yang duduk di hadapannya. Perempuan yang tega membunuh pasangannya sendiri.

-TIMEOUT-

RED LIGHT - TIMEOUT ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang