Langit sore menyapa. Rahma Kencana, seorang perempuan berusia tiga puluh dua tahun yang tengah duduk sendirian di atas kursi rotan di teras, menyeruput es teh manis dan bakwan jagung dengan nikmatnya. Ia terkadang menguarkan senyum sembari menundukkan kepala pada manusia yang berlalu-lalang di depan rumah.
Tak lama setelah itu, seseorang datang tergopoh-gopoh. Mertuanya tiba dengan tatapan sinis pada Rahma. Lengkapnya begini; tak enak dipandang, disapa, apalagi diajak bersenda gurau. Namun, tujuan langkah beliau ke sini. Ke rumah kecil di sisian perkotaan, di mana Rahma sedang duduk tenang sejak tiga puluh menit yang lalu, dan kini tidak lagi. Malah berubah waswas seraya tak karu-karuan.
Perempuan itu langsung berdiri, serta merta memacu langkah menghampiri mertuanya yang hampir mencapai kediamannya.
“Eh, Ibu," sapanya seraya mencium punggung tangan beliau takzim. “Mau bakwan, Bu? Biar aku am–"
"Udahlah, nggak usah banyak basa-basi." Bu Astari memotong kalimat menantunya yang belum usai. Perempuan setengah baya itu melepaskan sandal jepit sebelum menginjak teras. Kemudian tanpa salam, beliau telah melesak masuk ke dalam rumah putra semata wayangnya, Bayu Hardana.
Perasaan Rahma sudah tak enak. Kenapa pula ibu mertuanya tiba-tiba datang? Biasanya Bayu selalu memberitahukan lewat chat atau telepon, guna istrinya bersiap atau apa. Nah, ini tidak sama sekali.
"Permisi, paket!" Seorang lelaki tiba-tiba berteriak di depan rumah. "Atas nama Rahma Kencana," tutur orang asing itu lagi. Membuat ibu mertuanya sontak menoleh dengan tatapan tak santai.
Dengan langkah terseok-seok, Rahma berlari ke depan rumah. Ia cekatan memakai sandal dan membuka pagar kembali. Dari kejauhan pun terlihat, sepeda motor yang digunakan sang kurir, masih banyak paket yang belum diantar ke tempat tujuan, padahal hari sudah petang.
"Makasih ya, Mas." Rahma tersenyum sambil menerima paket yang isinya satu set kerudung dengan gamis. Hadiah ulang tahunnya dari Bayu beberapa hari lalu. Itu pun suaminya yang memaksa.
"Paket apa itu? Boros banget sih, Rah. Dikit-dikit paket, dikit-dikit paket. Mbok, uang dari Bayu itu dihemat. Padahal nggak ada anak, tapi hidupmu kok, gini-gini aja!" cetus Bu Astari melongok menantunya lewat mulut pintu.
Rahma tak kuasa menjawab, karena akan menimbulkan dampak buruk. Atau bahkan setidaknya membela diri saja, sudah melanggar etika dalam kamus beliau. Sudahlah. Toh, Rahma sudah berdampingan dengan wanita setengah baya ini kurang lebih delapan tahun. Beliau tipikal orang tua yang tak menerima saran, pendapat dan semacamnya. Semua harus bagaimana kehendaknya, karena ia lebih tahu dalam hal apa pun. Terutama ilmu berumah tangga. Katanya.
Untung saja Rahma dan Bayu sudah tak tinggal bersama dengan beliau lagi. Kala tabungan mereka cukup untuk membeli rumah, tanpa ba-bi-bu, mereka segera pindah. Kebetulan rumah ini dijual murah oleh sang empunya karena tengah membagikan harta waris. Pun rumah ini tak jauh dari kediaman Bu Astari, sehingga tak susah untuk Bayu berbakti pada orang tua yang mulai sepuh ini.
Menantunya padahal tak boros sama sekali. Ia memasak setiap hari. Jajan pun jarang. Bahkan kala sang suami berinisiatif untuk membelikannya sesuatu, dengan segera ia larang. Lebih baik ditabung untuk membeli mobil atau membangun usaha. Lebih bermanfaat.
Namun, mertuanya mana ingin tahu? Di mata beliau Rahma selalu salah.
"Sini Rah, duduk. Ibu mau ngomong sama kamu." Tiba-tiba beliau membuyarkan pikirannya, ternyata Bu Astari sudah menyampirkan tulang panggul di atas sofa ruang tamu sejak tadi. Tangan kanannya berayun di udara sambil melambai-lambai, isyarat memanggil sang menantu yang masih mematung di area daun pintu.
YOU ARE READING
Istri Baru Suamiku dari Ibu Mertua
RomanceBayu Hardana dan Rahma Kencana sudah menikah selama delapan tahun lamanya. Namun, mereka belum juga dikaruniai anak. Sebetulnya Bayu dan Rahma sudah berdamai dengan hati mereka masing-masing. Tak apa hanya berdua sampai tua. Akan tetapi, berbeda de...