04. Egois

53 29 19
                                    

Happy Reading!

Asap rokok mengepul memenuhi ruangan yang merupakan basecamp Gilang dan teman-temannya. Mereka kerap dijuluki cricle mahal, karena selain tampan, style keren, mereka juga kaya. Terlihat dengan tunggangan motor spot dan mobil spot yang mereka bawa.

"Lang, double date, yok!" ajak salah satu dari mereka kepada Gilang yang sejak dari tadi sibuk bermain catur dengan yang lain.

Cricle mereka beranggotakan empat orang—Gilang, Hamka, Tito dan Riyan. Semuanya memiliki pasangan, kecuali Tito.

"Boleh juga, double date. Mau kapan nih?"

"Minggu depan, aja! Gua gak bisa kalau mendadak," jawab Hamka—sang playboy cap kadal.

"Bilang aja ... bingung mau bawa yang mana," sindir Tito yang mengenal baik sahabatnya, Hamka yang mendengarnya hanya menyengir.

Riyan yang sedari tadi diam, mulai mendekat lalu memegang pundak Tito. "Si Hamka bingung mau bawa yang mana, sedangkan lo ... bingung karena gak tau mau bawa siapa."

"Sialan!" Umpatan Tito pun langsung mengundang tawa mereka, ia selalu menjadi langganan ledekan karena status jomblo di tengah para buaya.

"Btw, lo mau bawa siapa, Lang? Si cantik Kia atau Bella?" tanya Hamka yang sudah mengetahui kisah asmara temannya yang lumayan rumit.

Gilang terdiam tampak berfikir sejenak. "Gua bawa Kia."

"Tapi ... kalau Bella tau, kita mau double date, gua jamin dia bakal minta ikutan dan dia bakal ngambek kalau gak ikut," celetuk Tito asal.

Perkataan Tito memang sangatlah benar, bahaya kalau Bella sampai mengetahui acara ini. Ia tidak mau gadis kesayangannya sedih, jujur saja ia selalu merasa nyaman berada di dekat Bella, seperti mempunyai perasaan lebih dari sekedar adik kakak. Tapi ia juga tidak bisa melepaskan Kia, karena ia mencintainya. Katakan egois, karena ia ingin memiliki keduanya dalam satu genggaman sekaligus.

«✮ 𓆩♡𓆪 ✮»

"Papa!" panggil seorang gadis dari lantai atas kepada seorang pria dewasa yang baru memasuki rumah.

Dia adalah Fandy Winata Arora—ayah Kia, pengusaha batu bara PT. Winata Energy. Ia baru pulang dari luar kota mengurus bisnisnya, rasa penatnya mulai menghilang kala mendengar suara putri kesayangannya.

Kia berlari menuruni tangga dengan kegembiraan yang terpancar dari wajahnya dan langsung memeluk Fandy, hanya satu rasa yang harus disalurkan yaitu kerinduan. Bersamaan dengan hal itu, keluar wanita dari kamar atas yang wajahnya mirip dengan Kia namun ia terlihat lebih dewasa.

"Mas!" Wanita itu adalah ibunya Kia—Sandra Yolanda. Fandy yang melihat istrinya pun langsung menghampiri Sandra lalu memeluknya.

Mereka jarang sekali berkumpul bersama, karena kesibukan ayahnya yang tidak berkesudahan. Beruntungnya, hanya ayahnya saja yang bekerja tidak dengan ibunya. Andai saja kedua orang tuanya sibuk bekerja, Kia pastikan menjadi anak broken home bernuansa cemara.

Fandy mencium kening Kia lalu mengelus rambut panjangnya. "Kia, gimana sekolahmu, lancar?"

"Lancar-lancar aja, Pah!"

"Bener, Bun?" Kali ini Fandy menoleh ke arah Sandra, mencari kebenaran dari ucapan anak semata wayangnya. Sandra hanya membalas dengan anggukan saja, karena ia mengetahui jiwa tukang onar dan jiwa pemalas tidak ada pada diri putrinya.

"Emang kenapa, Pah? Tumben nanya?" tanya Kia penasaran.

Fandy menghela nafas dan menghembuskan perlahan. "Kata Boti, tempo hari kamu dihukum karena bikin masalah. Right?"

Boti adalah salah satu patner kerja Fandy,  dan anehnya dia juga terobsesi untuk memantau kehidupan Kia.

Kia sudah menduga, guru botak itu pasti akan melapor kepada ayah tercinta. "Bener, Pah! Taa—"

"Apa? Papah 'kan udah bilang ... jangan pernah bikin keributan di sekolah! Kamu harus jaga nama baik papah. Papah gak mau nama papah jelek." tekan Fandy dengan sorot mata marah. Fandy memang sangat memantau cara bersosial dan sekolah anaknya, dia sangat sensitif akan hal itu.

"Papah harus dengerin penjelasan Kia dulu ...." cecar Kia yang mulai merasa bersalah.

"Papah harap, ini pertama dan terakhir kamu dapat hukuman dari sekolah." Fandy meninggalkan Kia yang sedang berteriak minta didengarkan. Namun tidak digubris karena rasa kecewa yang mendominasi di dada.

"Mah, papah gak mau dengerin Kia. Kia emang dihukum, tapi Kia ada di pihak yang benar!" teriak Kia kepada ibunya sembari menghentakkan kaki kesal.

"Masa Baru pulang, udah ribut." Kia menghampiri ibunya kemudian menceritakan alasan kenapa dia dihukum.

Fandy memang pemarah namun penyayang sedangkan Sandra penyabar dan pengertian, definisi couple saling melengkapi.

"Kia ... menurut mamah, kamu udah bener belain temen kamu. Tapi, kelakuan kamu juga salah karena bisa membahayakan," ucap Sandra memberi peringatan dengan nada hati-hati sambil menangkup wajah Kia yang berada di level merajuk.

Sandra sangat memahami anaknya, ketika anak melakukan kesalahan tidak seharusnya kita memojokkan dia tanpa mendengarkan kenyataan. Anak juga tidak bisa dibenarkan ketika melakukan kesalahan, karena itu akan menjadi boomerang bagi kita. Maka yang paling benar adalah jalan tengah, memperingati anak dengan kasih sayang kecuali kalau sudah keterlaluan, maka disitu perlu ketegasan yang tinggi.

«✮ 𓆩♡𓆪 ✮»

"Ups, maaf sengaja!" ucap siswa yang sengaja menyelonjorkan kakinya secara tiba-tiba, demi membuat Epan tersandung.

Beruntung, Epan bisa menyeimbangkan tubuh sehingga dia tidak sampai terjatuh. Hendak ke kelas saja, butuh perjuangan ekstra. Karena murid-murid di sini sangat senang menganggunya dan menghalanginya untuk segera sampai ke kelas, mereka memperlakukan Epan seperti itu setiap hari.

Sesampai ia di kelas, ia langsung mengeluarkan buku dan lekas membacanya. Ia tidak memiliki teman di sekolah ini, namun ia tidak mempermasalahkan karena teman bukan segalanya.

Bel telah berbunyi menandakan pelajaran akan dimulai, guru pun memasuki kelas lalu menjelaskan materi yang dibawakan dengan rinci dan dengan suara lantang.

Telinga Epan fokus mendengarkan guru, namun matanya yang berwarna coklat, malah tidak sengaja fokus pada seseorang. Ia tersenyum tipis bahkan hampir tidak terlihat, kala memandang seorang gadis sekelasnya yang duduk di kursi paling depan. Jarak mereka memang jauh, karena kursi Epan paling belakang. Namun itu bukan penghalang baginya untuk menatap gadis itu diam-diam.

"Kia, Epan liatin lo dari tadi," bisik Amel yang duduk di sebelah Kia.

Kia menoleh ke belakang, membuktikan tuduhan Amel. Benar saja, tatapan Kia bertabrakan dan terkunci pada netra coklat milik Epan. Kia terhipnotis kepada tatapan teduh itu sejenak, dari balik kacamata tebalnya. Tergoda untuk berlama-lama menatap alis dan rahang yang ia baru sadari sangat gagah. Mereka saling menatap lama dari kejauhan, sampai suara guru menghentikan kontak mata mereka dalam acara saling menatap yang penuh kegugupan.

Akhir-akhir ini, Kia sering mendapati Epan memperhatikannya. Ia sedikit heran  karena sebelumnya Epan tidak pernah terlihat seperti ini, kecuali sejak Kia menolongnya tempo hari.

"Gua baru sadar ... kalau lo itu sangat cantik, lucu dan menarik, Kia."

Are You Mine?Where stories live. Discover now