Bab. 17

47 10 0
                                    

Jeha membawa nampan berisi secangkir teh hangat berserta biskuit cokelat dan menaruh di atas meja ruang tamu. Malam minggu, ia mendapat kunjungan dari wanita yang telah melahirkan Allen ke dunia. Ditanya tahu dari mana, tentu wanita itu sudah bertanya sebelumnya saat menemui Jeha di Kafe.

"Terimakasih," ucap wanita bergamis merah hati tersenyum sinis nan berusaha ramah.

Jeha pun mengangguk seraya duduk di sofa mandiri. Sedari wanita ini datang detakan dibalik dada bertalu di atas wajar, masih terasa sakitnya saat wanita ini datang ke Kafe dan merendahkan harga diri Jeha serendah-rendahnya.

Hembusan napas keluar, amarah karena ego ingin dilonggarkan. Dalam benak, Jeha ingin sekali mengusir wanita ini keluar sebelum bibir merah itu mengeluarkan kalimat sepedas cabai satu kilo. Entah mengapa, ia merasa sebentar lagi akan mendapat semburan api.

"Boleh, saya minum?"

"Silakan."

Tangan wanita itupun terulur meraih cangkir gelas teh hangat--karena memang si tamu meminta yang hangat bukan panas--, meniup beberapa kali supaya suhu hangat pada teh tawar sesuai permintaan si tamu berangsur turun. Dirasa bisa bersentuhan dengan lidah Nika pun meminumnya tiga teguk.

Sensasi hangat menghampiri rongga mulut pun tenggorokan, barulah menatap Jeha dengan tatapan merendahkan. Seperti biasa, benar? Dan yah, wanita seperti Jeha memang tidak ada nilainya. Kalau dibilang sampah terlalu frontal, tapi itulah menurut wanita bergamis merah hati itu.

"Saya ingin bicara penting pun pastinya terdengar seperti peringatan tegas untukmu!" tegas Nika sembari meletakan gelas di atas nakas kembali.

Mendengar wanita itu berbicara demikian membuat bulu kuduk meremang, begitu kuatnya pancaran aura tegas nan mengintimidasi lewat suara dingin pun cara menatap wanita itu.

"Allen, masih sering kemari?"

"Bisa dikatakan jarang."

Sudut bibir kiri Nika berkedut, berarti anak itu mulai patuh kembali padanya, mau mendengarkan nasihat terbaik dari Ibunya.

"Bagus." Kaki kanan Nika bertumpu di paha kiri. "Tapi, apa kamu bisa menjamin Allen tidak ke sini lagi pun diam-diam menghubungimu, padahal saya sudah menentang keras hubungan kalian?"

"Saya tidak bisa menjamin, tapi yang jelas Allen pasti selalu patuh pada Ibu."

"Baiklah, anggap saja begitu, karena pada kenyataannya semenjak anak saya dekat dengan kamu, dia mulai pandai berbohong. Tidak jauh-jauh sikap itu pasti karena meniru atau lebih parah, karena kamu yang memintanya."

Jeha menarik napasnya dalam-dalam berusaha mengontrol sisi emosional, dadanya mulai bergemuruh panas pun telinganya juga panas mendengar penuturan wanita yang usianya jauh lebih tua darinya.

"Maaf Bu, saya tidak setuju dengan ucapan Ibu yang menyuruh Allen untuk berbohong. Buat apa, saya menyuruh Allen berbohong pada Ibunya sendiri?"

"Saya tidak suka omong kosong! Saya yang mendidik dan membesarkan Allen sedari balita sampai dewasa, tahu anak itu tidak pernah berbohong pada saya, tapi semenjak bersamamu dia berani berbohong pun berani menolak keinginan saya!"

Tidak pernah luput keinginan Nika diacuhkan bahkan ditentang. Tapi gara-gara Jeha anaknya menolak keras perjodohan, kemarin anak itu hendak membatalkan perjodohan bahkan berani melawan Nika. Entah ilmu hitam apa yang digunakan wanita ini sampai anaknya tergila-gila pada wanita rendahan seperti ini.

TAUT | Kim Mingyu✓Where stories live. Discover now