14. Kalah

285 66 45
                                    

Hema kira diamnya Jere murni tidak tahu. Ternyata hanya pura-pura tak tahu. Sore itu, Hema berdiri di luar kelas, menyandarkan punggung pada dinding, menunggui Thalia yang hari ini kebagian piket. Di dalam, Thalia tampak tengah menyapu dengan tiga orang lainnya, termasuk Jere. Area sekolah sudah sepi, sebab bel tanda pulang dibunyikan setengah jam lalu. Nata dan Reyhan pun sudah hilang sejak tadi. Sebenarnya tak ada guna menunggui Thalia, karena mereka tak pulang bersama. Thalia, seperti biasa, akan duduk manis di boncengan Jere. Hanya saja, sedikit detik yang dapat ia habiskan bersama Thalia sungguhlah berharga, tidak mungkin ia lewatkan meskipun cuma sekadar melangkah bersisian menuju parkiran. Maka dari itu, tanpa sepengetahuan kekasihnya, Hema diam di sana sambil menikmati angin yang berembus dengan lembut.

Menit berganti menit, dapat Hema dengar dua kawan kelasnya pamit pada Thalia, dan tidak lama mereka keluar pintu. Mereka mengedikkan kepala pada Hema sebelum berlalu. Maka kini tersisa dua orang saja di dalam sana. Hema lekas menegakkan punggung, hendak menyusul Thalia. Namun, langkahnya tertahan sebuah kalimat pelan yang diucapkan Jere,

"Kenapa bukan aku?"

Menggema, di antara kesunyian yang meraja dalam ruangan. Tiga langkah dari ambang pintu, Hema terpaku. Ia tercekat sepersekian detik. Dan untuk jeda yang cukup panjang, pertanyaan Jere tidak disahuti. Hema bawa balik diri ke posisi semula, musnah niatnya untuk menyusul Thalia. Dari sini, ia akan mencuri dengar konversasi yang sepertinya bakal berlangsung serius.

Di dalam kelas, Thalia dan Jere berdiri berhadapan. Ada masing-masing sapu di genggaman mereka. Namun, untuk sejenak, kegiatan bersih-bersih resmi terjeda. Jere menatap gadis itu lekat, berharap kata-kata yang riuh dalam benak mampu dipahami Thalia tanpa perlu diucap. Thalia bergeming, beku, tanya Jere membuat jantung gadis itu mencelos hebat. Lalu perlahan-lahan, nelangsa menyeruak di mata mereka.

"Kenapa bukan aku orangnya, Tha?" Jere memperjelas tanya, sekaligus memperdalam luka, sebab tak peduli seberapa banyak ia mengulang tanya serupa, jawaban Thalia tidak akan berubah. Akan tetap mencabik-cabik perasaannya. Kendati demikian, Jere masih mau mendengar jawabannya. "Apa yang Hema punya sedangkan aku enggak, Tha? Sampai-sampai aku kalah dari dia. Hal baik apa yang dia beri ke kamu yang aku enggak bisa memberikannya? Pujian yang seperti apa yang dia bilang dan aku enggak pernah mengatakannya? Di antara semua orang ... kenapa bukan aku?"

"Je ...."

"Bilang, Tha ... bakal aku usahain apa pun biar kamu mau lihat aku. Belasan tahun yang kita habisin bareng, kalau belum berhasil bikin kamu ngerti aku sayang kamu, ada belasan tahun lain yang bakal aku pake buat usaha lagi. Jadi bilang, aku harus apa?" tanyanya, dengan nada yang kentara menyirat kekecewaan. Bagaimana tidak, ketika ia kira pertemanan belasan tahunnya dengan Thalia bisa berakhir romansa, nyatanya malah berujung duka. Dia kalah oleh Hema yang belum genap sebulan dikenal Thalia. Kebersamaan selama belasan tahun tersebut apa tidak ada harganya di mata Thalia?

"Je, jangan gini. Bukannya kita udah janji? Enggak akan suka ke satu sama lain?" Thalia maju selangkah, tetapi tangan yang ingin menggapai lengan Jere itu justru berakhir menggenggam udara—Jere mundur menjauhi Thalia.

"Aku suka kamu, Tha."

"Je!" sentak Thalia, memandang tajam Jere. "Sekali lagi bilang kayak gitu—"

"Aku suka kamu." Malah sengaja Jere melakukannya. Memang apa yang akan Thalia lakukan jika sekali lagi Jere mengatakannya? Memang apa yang lebih buruk ketimbang tahu perasaannya tak akan Thalia balas—

Plak!

Oh, ini ternyata lebih buruk.

Sensasi panas seketika menjalari pipi kiri Jere. Berdenging suara tamparan barusan di telinga pemuda itu. Laju waktu seakan berhenti di sisi Jere selagi ia berusaha keras mencerna apa yang baru saja terjadi. Dengan gerakan kaku ia membawa kepala menoleh pada Thalia, dan langsung perih dadanya dapati mata Thalia berkaca-kaca. Air mata yang nyaris luruh itu ... untuk apa? Tangis yang hampir pecah itu apa karena Thalia benci Jere menaruh rasa padanya?

[✓] Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang