Bab. 18

38 11 0
                                    

4 Minggu sebelum Allen menikah.

Jeha hampir kesulitan menelan saliva melewati tenggorokan, detakan dibalik dada bertalu kuat pun aliran darah berdesir hebat. Terkejut saat membuka pintu ternyata orang yang mengetuk adalah Allen. Pria itu berdiri sembari tersenyum manis.

"Gue bawa makanan buat Juno," kata Allen sembari mengangkat keresek putih bersisi makanan basah dan kering untuk si kucing. "Tenang, gue juga tadi mampir buat beli bubur ayam," lanjut pria itu menunjukan keresek bening di tangan kiri berisi dua wadah bubur ayam. Berniat ingin makan malam sederhana bersama Jeha.

"Boleh masuk?" tanya Allen lembut lantaran si pemilik rumah hanya diam menatapnya.

Kelopak mata Jeha mengerjap, teringat bagaimana ucapan Nika satu Minggu yang lalu. Masih terasa bagaimana rasa sakitnya wanita itu menegaskan supaya hubungan mereka usai saja.

Tanpa menunggu lama, Jeha pun mempersilakan pria ini masuk ke dalam ruang tamu, menawarkan minuman begitu duduk dan Allen meminta air putih dingin saja. Tak selang lama Jeha muncul membawa segelas air putih dingin tanpa sajian lain karena mereka akan makan malam bersama.

Benar. Mereka makan bubur ayam bersama, saat makan sembari mendengar Allen cerita. Jeha hanya menyuap bubur ayam, menggeleng, mengangguk guna merespon Allen. Pria itu terkadang mendengus, mengerucutkan bibir, tertawa ringan saat bercerita sambil makan. Entah cerita apa yang pria itu lontarkan karena Jeha lebih fokus menatap lekat wajah pria yang amat ia cinta.

"Gue ... boleh bicara serius sama lo?" tanya Jeha usai mereka selesai makan malam di ruang tamu. Setelah dipikir matang, keputusan Jeha dirasa memang tepat.

"Mau bicara apa?" Allen bertanya usai meminum segelas air dingin, satu gelas kecil--menurut Allen--, untuk minum mana cukup. Padahal biasanya Jeha selalu membawakan air dingin botol mineral untuknya tak seperti tadi, entah apa yang sedang Jeha pikirkan sampai seperti orang bingung malam ini.

Dan tiba-tiba perasaan Allen jadi tidak enak, dari nada bicara pun wajah Jeha seolah ada luka dalam yang tengah disembunyikan lewat wajah tenangnya.

Sebenarnya Jeha tak ingin, namun akan tetap ia lakukan. Dengan satu tarikan napas, barulah Jeha berujar. "Lebih baik, kita sudahi hubungan kita, ya? Mau itu sebagai kekasih maupun teman?"

Netra Allen menatap tanpa kedip pada wajah kekasih, lalu mengerjap cepat dan tertawa ringan barulah berujar. "Lo lagi bercanda, kan? Kalau iya, nggak lucu sama sekali Jeha, garing," pungkasnya ringan walau dari pancaran jendela hati kekasih terlihat serius.

"Apa terdengar seperti bercanda?" tanya Jeha lembut nan serius.

Ditatap lekat pun serius wajah Jeha, menggeleng pelan karena tak menemukan kebohongan sebutir obat pun di wajah kekasih. "Karena sebentar lagi gue mau nikah? Kita udahan? Kita masih bisa jadi teman, benar?"

Di relung hati terdalam, sakit bercampur cemas Jeha meminta memutuskan hubungan. Pria itu tahu pasti Jeha terpaksa memintanya pun harus menekan sakit untuk mengakhiri hubungan ini.

"Nggak ada pertemanan dalam hubungan pria dan wanita. Dan lo tahu itu, kan?" tanya Jeha serius lembut menatap sendu kekasih.

Omong kosong jika wanita dan pria murni berteman tanpa melibatkan perasaan, kalau tidak salah satunya bisa saja keduanya.

Allen menggeleng cepat, luka yang baru saja kering basah kembali, nyeri menyayat hati. "Kemarin lo setuju kita berteman. Yah, berteman saja Jeha. Gue nikah, tapi gue masih bisa berteman sama lo, iya, kan?"

"Dan di dalamnya melibatkan perasaan? Itu sama saja bohong, Len," tekannya lembut bergetar. Menelan saliva barulah melanjutkan, "Terima wanita itu, ya. Dan lupain gue. Gue percaya perlahan-lahan, pasti lo bisa jatuh cinta sama dia, gue yakin rasa cinta lo ke gue perlahan pun pudar," ucap Jeha sembari berusaha tersenyum menabahkan hati.

TAUT | Kim Mingyu✓Where stories live. Discover now