Bab. 23

33 10 0
                                    

Terhitung dua kali sang chef memecahkan gelas secara beruntun. Satu gelas tak sengaja tersenggol lengan, satunya lagi merosot dari tangan. Benar, pagi ini Allen sangat ceroboh di dapur restoran. Kurang konsentrasi dalam bekerja, menghela napas seraya menata pikiran berisik supaya tertata lebih baik.

"Biar gue saja Len."

Ilyas hendak membantu Allen yang ia membersihkan pecahan kaca. Tidak jadi karena si empu menolak, ini adalah perbuatan Allen, jadi tentu ia yang harus bertanggung jawab.

"Lo baik-baik saja?" tanya Ilyas usai Allen membuang katong kresek hitam ukuran jumbo berisi pecahan kaca. Diam-diam memperhatikan, Ilyas sedari memasak sesekali melirik Allen, kinerja temannya yang biasanya gesit, cepat dan tepat mendadak ceroboh.

"Baik, cuma hari ini sedikit ceroboh." Allen tersenyum tipis dan melanjutkan aktivitas memasak.

Boleh saja bibir Allen berkata demikian. Namun Ilyas tahu pasti hatinya bertolak belakang.

Ilyas menepuk pundak Allen pelan seraya memberi senyuman semangat lalu ia melanjutkan aktivitas memasaknya.

Allen tetap profesional dalam mengolah masakan. Ditengah hati sendu rasa masakan masih seperti biasa, tidak kurang maupun lebih alias pas. Sampailah waktu restoran tutup perasaan Allen masih dilanda sendu. Mencoba menghela napas beberapa kali lalu mengembuskan pelan.

"Boleh nebeng, mobil gue mendadak ngambek?" Ilyas bertanya saat pria tinggi besar itu hendak masuk mobil.

Menatap Ilyas sekilas yang tersenyum lebar meminta tumpangan gratis. Allen pun mengangguk mengiyakan. "Boleh."

Di tengah perjalanan mengantar Ilyas ke rumah terlebih dahulu, suasana dalam mobil terus saja senyap, cukup peka Ilyas tak mau mengajak mengobrol si pengemudi.

Sampai mobil hitam itu melewati Kafe Lavender, Allen terus menatap bangunan ramai itu dari kaca spion mobil. Sendu pun sayu memandangi tempat Jeha bekerja, dalam hati sangat berharap netra bisa melihat Jeha walau hanya dua detik guna mengobati rasa rindunya.

Diam-diam Ilyas memperhatikan visual teman dari samping, bola mata Allen terdapat saraf halus merah saat terus memandangi kaca spion, tentu pasti karena melewati tempat mantan kekasihnya bekerja.

Entah sejak kapan Ilyas ikut larut dalam nuansa sendu yang kini temannya rasakan.

"Lo rindu Jeha?" tanya Ilyas lembut.

Kelopak mata Allen mengerjap sesaat, mengusir hawa panas mulai menghampiri netranya. "Hanya sedikit, dan itu wajar menurut gue karena dulu kami sering bertemu."

Ilyas terus memandangi temannya. "Jujur saja, lo rindu berat sama Jeha, kan? Gue nggak tahu sesakit dan sesusah apa lo berusaha melupakan Jeha. Dan yang gue tangkap, rasa cinta lo ke Jeha bukan berangsur hilang justru semakin dalam."

Allen menunduk sebentar sebelum terkekeh pelan mendengar penuturan Ilyas yang memang sangat benar.

"Gue memang suka mempermainkan hati wanita, tapi gue masih punya rasa!"

Tangan Allen menepuk pundak Ilyas. "Jangan cuma bilang begitu, coba berhenti mengoleksi wanita."

Ilyas menatap depan. "Benar, dari lo gue belajar apa itu mencintai."

"Jadi terharu gue kalau buat lo tobat!"

Tak memakan waktu lebih lama mobil Allen sudah sampai di rumah Ilyas. Pria itu berterimakasih karena bersedia direpotkan, tanpa mampir Allen melajukan mobil guna segera pulang.

Namun, saat mobil Allen akan melewati Kafe Lavender. Pria itu mengurangi kecepatan. Jika tidak mengantar Ilyas ke rumahnya mungkin mobil Allen tak akan melewati Kafe Lavender, karena memang rumah Ilyas dan tempat Jeha bekerja satu arah.

TAUT | Kim Mingyu✓Where stories live. Discover now