Bab. 24

28 12 0
                                    

Setelah dirasa semua bahan adonan bakery dan pastry masuk keranjang. Jena dan Jessi yang berada di toko perlengkapan kue segera membayar ke kasir.

Ditemani Jessi wanita itu membeli bahan baku bakery yang hampir habis, temannya itu sendiri adalah pemilik salon kecantikan yang di mana bangunan tersebut berada di seberang toko Jena persis. Jadi, sudah sering saat belanja perlengkapan kue bersama Jessi, tentu saat tidak banyak pelanggan salon mengantri.

Sebelum pulang Jessi ingin ke coffeshop sebentar sekaligus bicara serius mengenai hubungan romansanya. Mereka pun menuju tempat kopi naik motor Jessi. Begitu sampai dua kaum hawa tersebut memesan vanilla latte seperti biasa, tak selang lama pesanan pun datang.

"Jadi, kamu beneran nggak mau menikah?" tanya Jena usai teman menjelaskan dirinya baru saja mendapat lamaran dari pria tampan maskulin, seorang dosen, dan secara karakter menurut Jessi sendiri dewasa.

Tak heran Ibunya Jessi sangat berharap anak tunggalnya mau menerima lamaran tersebut karena paket komplit. Namun, berbeda dengan sang anak yang langsung menolak dan sang Ibu bicara lembut nan sopan pada si pelamar anaknya untuk menunggu karena lamarannya mendadak. Catat! Sebenarnya hanya alasan guna mengulur waktu membujuk putrinya kembali supaya menerima lamaran.

Padahal sudah jelas ditolak oleh Jessi!

"Menikah nggak masuk tujuan sekaligus keinginan dalam hidup gue." Jessi menjawab tegas lalu menyeruput kopi. "Mending, halu sama Mas Kai saja daripada gue harus nikah, asli!" sambung perempuan itu serius.

"Bukan karena trauma?"

Perempuan tomboy itu diam sejenak memikirkan dan mencerna pertanyaan lawan bicara. Menjadi anak korban broken home dan sering melihat sang Ibu mendapat perlakuan kasar secara batin dan fisik sudah cukup membuat penilaian Jessi pada lelaki adalah makhluk tidak punya nurani.

Pun hubungan dengan mantan kekasih yang ia pikir pria sejati ternyata dibalik kata manisnya mengandung bisa ular, bilangnya anak orang kaya, setia, dan berpendidikan, justru hanya seorang pria tukang selingkuh, suka main judi, dan hanya lulusan sekolah menengah pertama.

"Gue sudah ke psikolog, terapi dan pemikiran gue akan pernikahan adalah tanggung jawab yang berat. Sepertinya gue nggak akan siap mental, daripada gue menumpahkan luka gue ke anak, lebih baik nggak usah!" Terulur tangan Jessi mengambil gelas kopi, meminum tiga tegukan. "Kalau lo sendiri? Gimana hubungan lo sama suami?"

Jena diam sesaat, selama beberapa bulan ini temannya memang tak pernah menanyakan bagaimana hubungan rumah tangganya dan ia sendiri tak pernah berniat menceritakannya.

"Ya, begitulah Jes."

"Ya begitu gimana? Coba jelasin biar gue dapat referensi baru dari orang yang menikah karena dijodohkan."

Benar. Jena sendiri sebenarnya juga tahu pengalaman banyak orang yang menikah karena perjodohan mayoritas berakhir cerai, entah karena perselingkuhan, terjadi kekerasan dalam rumah tangga, enggan memberi nafkah batin maupun fisik, salah satunya enggan mengurus anak dengan baik, sering berbeda pendapat berakhir pertengkaran hebat dan lain sebagainya.

Minoritas bisa tetap bersama karena adanya kecocokan pada kedua belah pihak, salah satu ada yang cinta satunya tidak. Namun masih bisa berlanjut, bergeser menggunakan rasa sayang di atas cinta membuat pernikahan karena perjodohan langgeng. Dan sisanya, mungkin pasrah akan keadaan untuk melanjutkan rumah tangga tanpa adanya cinta.

Hembusan napas keluar dari hidung mancung Jena, atmosfer di sekitar seolah berganti menjadi energi negatif, sebenarnya ia sendiri enggan membahas topik sensitif ini.

"Kalau lo nggak mau cerita, ya nggak papa. Gue berharap rumah tangga kalian bisa sukses."

Menatap Jessi yang santai meneguk kopi, mereka memang belum mengenal begitu lama, tapi selama berteman tak pernah Jessi berkhianat, atau mungkin belum ketahuan saja?

TAUT | Kim Mingyu✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang