Bab. 25

26 11 0
                                    

"Mau saya panaskan?" tanya Jena begitu mendapati Allen berada di dapur, ia sendiri baru saja minum air dingin dari kulkas. Mendapati Allen menaruh teflon di atas kompor, ia berpikir pasti suami hendak memanaskan lauk.

"Saya mau masak sarden," jawab Allen seraya membuka lemari atas dapur, mengambil satu kaleng sarden.

Mata Jena mengerjap menatap suami, lauk masih terbilang banyak, setelah pulang dari Toko bakery ia saja langsung makan dan makanan masih terasa enak walau tidak dipanaskan.

"Mas tidak suka masakan saya?"

Allen yang sedang memotong bawang bombai menoleh sekilas sebelum melanjutkan. "Jujur saja, saya kalau makan harus ada daging, kalau tidak daging harus ada telur, intinya makanan harus berbau amis."

Benar. Kalau makan tanpa makanan amis terasa hambar di lidah, ibarat bagai masakan tanpa garam, tidak heran bila tinggi badan Allen di atas rata-rata pun berbadan besar.

"Kenapa Mas baru bilang?" Jena melangkah menemui suami yang sekarang mencuci cabai dengan air mengalir. "Biar saya yang masak sarden."

"Tidak usah, saya lagi ingin masak sendiri." Allen mematikan keran, berlanjut akan memotong cabai.

"Masakan saya kurang enak?" Memang ada tantangan tersendiri jika punya suami pintar memasak, berasa kalah saing sebagai istri.

Terlebih sudah tertanam di alam bawah sadar jika tugas istri adalah memasak. Sebisa mungkin Jena berusaha pandai meracik masakan.

"Enak," jawab Allen seraya menuangkan minyak goreng dalam wajan.

Kalau saja Allen tidak sabar ingin sekali menyuruh Jena pergi dari dapur, tak usah banyak bertanya. Menganggu konsentrasinya saja.

Jena pun cukup mengangguk lalu pergi dari dapur, emosi mulai berperan dalam diri. Ia tidak mau berdebat hanya karena masalah sepele, tak perlu memasak sarden untuk suami karena pria ini bisa masak sendiri dan lebih enak.

Allen menyalakan kompor, menoleh ke arah Jena sekilas. Kelopak mata memejam sesaat antara sisa rasa kesal dan malas jika berhadapan dengan Jena menjadi satu, merasa tidak bebas saja menjadi diri sendiri kalau bersama Jena.

Sarden masak tak sampai memakan waktu tiga puluh menit. Segera pria itu sajikan dalam mangkuk besar, mengambil nasi merah, tempe goreng, sarden beserta kuah secukupnya dalam piring.

Sembari makan malam, merasakan suasana dalam rumah kontrakan terasa sunyi. Hanya suara denting sendok berpadu dengan piring, bukan satu dua kali ia merasa kesepian. Namun sering sekali makan malam sendiri di dapur seperti sekarang.

Mengobrol dengan istri pun jarang dan tidak nyaman. Lebih baik sendiri-sendiri dalam satu atap, mereka adalah pasangan tapi terasa asing, dari awal kenal memang tak tertarik satu sama lain dan terjebak pada pernikahan semu.

Allen meminum air putih dalam gelas sampai tandas usai mengeksekusi makanan. Setelahnya mencuci piring dan gelas bekas makanan.

Selesai. Pria itu melangkah menuju kamarnya sendiri. Duduk di tepi ranjang
menatap langit-langit kamar dengan wajah datar, merenungi kembali sudah cukup lama berumah tangga dengan Jena walau belum ada rasa. Allen tersenyum tipis, biarlah, tak apa, tak perlu ada cinta saat menjalani rumah tangga.

Tangan terulur mengambil ponsel, tertera sudah pukul setengah sebelas malam. Membuka galeri melihat foto-foto mantan kekasih, tiap kali hati dirundung sepi, yang Allen lakukan adalah memandangi foto kebersamaan mereka.

"Serius harus makan ikan goreng?" Mata Jeha mengerjap menatap menu ikan goreng di atas meja makan.

Meringis bagaimana lidah sangat anti bersentuhan dengan hewan laut tersebut. Menu sarapan Minggu pagi ini adalah ikan goreng yang sudah tertata rapi di meja makan kontrakan, beserta terong balado buatan chef tampan yang kini tengah tersenyum.

TAUT | Kim Mingyu✓Where stories live. Discover now