Bab. 26

47 12 0
                                    

"Mas, saya izin pulang ke rumah Ibu dulu, ya."

Allen menoleh mendapati Jena baru saja masuk ke kamarnya memakai hoodie cokelat, celana longgar hitam, kerudung instan hitam beserta tas ransel ukuran anak sekolahan.

Lusa lalu sang istri memang sudah bicara ingin menginap satu Minggu di rumah orang tua. Rindu akan wanita yang sudah melahirkannya ke dunia, tentu sang suami mengizinkan, mau satu bulan menginap pun dengan senang hati membolehkan.

Allen melirik jam di dinding kamar sudah pukul sembilan malam, kenapa wanita itu mau keluar rumah di jam sudah terlampau malam menurutnya untuk membiarkan wanita di luar rumah.

"Biar saya antar, ya? Ini sudah malam saya tidak mungkin membiarkan kamu ke sana sendiri sekalipun naik ojek."

Bukan karena bentuk perhatian atau apapun itu, Allen tidak mungkin membiarkan Jena keluar sendirian, mau bagaimanapun wanita itu jadi tanggung jawab Allen sebagai suami.

"Tidak usah saya bisa jaga diri. Ralat mas, bukan naik ojek, saya diantar Jessi. Jadi, Mas tidak perlu antar."

Alis Allen naik sebelah. "Jessi?"

"Temen saya."

Allen pun manggut-manggut mengerti, karena jujur Allen pikir wanita ini akan ke rumah Ibu besok pagi biar sekalian ia antar.

Benar tak selang lama suara mobil yang memasuki halaman kontrakan mereka terdengar dan tentu saja mobil Jessi sudah datang. Pria itu berjalan ke arah jendela, menggeser gorden dan mendapati mobil Ayla merah terparkir di halaman lalu si pengemudi keluar dari mobil.

"Kalau begitu saya pamit, makasih atas tawaran sebelumnya, ya."

Usai mengucap salam suara ketukan pintu dari luar terdengar. Pria itu menilik dari balik kaca saja melihat istri pergi dengan teman mengendarai mobil.

Ia tahu mereka menikah tanpa cinta, status suami istri sebagai formalitas semata karena tak ada rasa di antara keduanya. Tapi dalam hati sedikit tersinggung, Jena sama sekali tak menganggap kehadirannya. Tiap kali Allen ingin membantu selalu wanita itu tolak.

Allen merasa tak berguna menjadi manusia bila bersama Jena, merasa nasib pernikahannya miris, sang istri selalu melakukan apa-apa sendiri pun jika Allen tak membutuhkan bantuan, sang istri seolah ingin menolong. Tak mau hutang budi ia pun selalu menolak tawaran pertolongan Jena.

Usai mobil meninggalkan pekarangan rumah Allen menutup gorden, menghela napas merasa sesak entah sampai kapan harus belajar ikhlas menerima pernikahannya.

...

"Nggak seharusnya kamu datang semalam ini, kenapa nggak besok pagi saja?" tanya Armi begitu mereka melepas pelukan rindu di ruang tamu.

Jena menoleh ke arah Jessi terlebih dahulu, barulah menatap sang Ibu kembali. "Nana sudah nggak sabar menginap di sini Bu."

"Kamu ke sini sama Jessi bukan Allen?"

Baru Armi sadari sang anak datang bersama temannya bukan sang suami. Karena ia pikir yang mengantar adalah sang menantu.

"Nana yang minta, nggak mau merepotkan," jawab Jena seadanya walau dari lubuk hati kurang berkenan bila Allen yang mengantar. Serasa hutang budi.

Melihat raut pun tatapan sang anak, wanita itu bisa paham kalau anaknya masih belum bisa menerima suami sepenuhnya. Tangan Armi terulur mengelus pundak Jena.

"Ya sudah Bu, Jessi mau pamit."

Armi menatap wanita bermata sipit tersebut. "Nggak mau menginap juga, biar nggak terlalu sepi cuma kami berdua."

TAUT | Kim Mingyu✓Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz