Usai aku menjemur pakaian, kami sekeluarga berangkat ke rumah duka. Mamak membawa rantang berisi makanan untuk tante Mirah dan anak-anaknya. Di tengah jalan kami bertemu paman Yandi yang membawa dua ekor ayam kampung untuk disumbangkan pada tante Mirah.
“Datang juga kau,” tegur bapak.
“Aku sudah dengar dari Atuk. Kasian juga si Ganda. Selama hidup bikin masalah, udah mati tetap aja bikin repot,” sahut paman Yandi.
“Hussh…gak boleh begitu. Bagaimanapun juga ia masih sepupumu. Bisa-bisa, nanti malam ia datang ke rumahmu.”
Paman Yandi menelan ludah mendengar celoteh bapak. Wajahnya seketika memucat, takut didatangi hantu paman Ganda. Sekitar 15 menitan, kami tiba di rumah duka. Pagi itu warga sudah berkumpul. Sebagian karena memang ingin melayat, sebagian lagi karena penasaran dengan kondisi jenazah.
Bapak mengedarkan pandang dengan dahi mengernyit.
“Ada apa?” selidik paman Yandi.
“Entahlah. Aku merasa ada yang kurang. Ah, sudahlah. Mungkin hanya perasaanku saja. Tidak usah dipikir.”
Setelah diadakan doa bersama oleh pemimpin umat, peti mati paman Ganda lantas digotong beramai-ramai ke pemakaman. Kebetulan, pemakaman ini berada di dalam hutan dan agak jauh dari perkampungan. Jalannya sempit dan banyak akar liar, jadi harus berhati-hati. Kendati demikian, areal pemakaman cukup luas dan sering dibersihkan.
Perjalanan menuju pemakaman berjalan lancar. Warga saling bergantian menandu peti mati paman Ganda, sementara tante Mirah dan keempat anaknya tak berhenti menangis sepanjang jalan. Mamak yang mudah tersentuh menangis haru, menggengam erat jemari tante Mirah.
Sesampainya di kuburan, rupanya kemalangan paman Ganda tak juga hilang. Liang kuburnya digenangi air keruh hingga separuh. Penjaga kubur bahkan sampai bersumpah, bahwa tadi pagi tidak air sedikitpun di situ.
“Aku bersedia disumpah bang, tadi tidak ada air di situ. Aku tidak mungkin sebodoh itu, menggali kubur yang ada airnya. Kau lihat sendiri, hanya ada tanah liat di badanku. Tak sedikitpun basah karena air,” gerutu penggali kubur dengan nada tinggi, tak terima disalahkan.
Wargapun tercengang, saling lirik dan saling pandang. Bisik-bisik miring kembali terdengar, mengatakan bahwa jasad paman Ganda tidak diterima bumi. Tante Mirah terperangah, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Duduk tersungkur, tangisnya kembali pecah.
Keempat anaknya langsung berhamburan, memeluk sang ibu yang berurai air mata. Mamak merangkul tante Mirah dari belakang, menenangkannya dengan air mata yang juga jatuh.
“Ya Tuhan… Apalagi ini. Kemalangan apalagi ini Tuhan…hu…hu…hu…” racau tante Mirah sambil sesenggukan.
Melihat keadaan tante Mirah, warga menjadi kasihan. Ibu-ibu juga ikut berurai air mata, sementara para bapak kelimpungan mencari solusi.
“Pak kades, bagaimana ini?” tanya seorang penggali kubur.
Pak kades tampaknya juga kebingungan karena baru kali ini ia mengalami kejadian aneh seperti ini. Bapak yang jengah akhirnya buka suara.
“Yang rumahnya dekat, cepat ambil ember! Yang lain, gantian memanggul petinya. Ayo, cepat!” perintah bapak.
Sekitar tiga orang warga langsung lari pulang ke rumah, sementara yang lain bergantian memanggul peti. Menurut kepercayaan di kampung kami, peti mati tidak boleh diletakan di tanah kecuali langsung dimasukkan ke liang kubur. Kehebohan kembali terjadi di pemakaman pagi itu.
Orang-orang yang memanggul peti terlihat kelelahan. Tubuh mereka telah banjir keringat. Meski telah gantian, mereka sepertinya sudah kehabisan tenaga. Keadaan hari itu benar-benar kacau, seperti sinetron azab di tv.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sumpah Adat Berujung Maut
HorrorTak terima dituduh sebagai pelaku racun, Andung menantang sepupunya untuk melakukan ritual sumpah adat. Tak disangka, sumpah sakral tersebut merenggut korban nyawa dan sesosok hantu mulai bergentayangan menebar teror.