RIMBUN 5. KONFLIK BATIN

212 55 17
                                    

Hai,

Apa yang membuat kamu kuat?

Eum … Sadewa.

¤ r i m b u n ¤

Kelas menjadi lebih sepi, sejak terungkap bahwa Samsyir telah meninggal, suasana kelas terkesan murung dan dingin. Seperti yang dikatakan Lindung di hari lalu, berkali-kali Sadewa melihat ke arah bangku yang biasanya ditempati Samsyir. Entah apa yang sebenarnya pemuda itu rasakan pada Samsyir, dia yang mengungkapkan bahwa Samsyir adalah hantu, tapi dia juga yang merasa paling kehilangan. Walau tak diungkapkan oleh mulutnya sendiri yang mahal suara itu, tapi semua orang akan tahu melalui tatapan matanya yang semakin sayu dan sendu.

Hari ini Samsyir ikut Bentang ke kampus, dia merindukan tempat belajarnya, dia pula merindukan teman-temannya. Dia melihat tatapan rindu di mata Sadewa, karena sesungguhnya dia pula memperhatikan pemuda itu, sayangnya pemuda itu tak lagi bisa melihatnya, sama seperti teman-temannya yang lain.

“Kita gak mau takziah ke rumah Samsyir? Dia orang baik, walaupun kita gak ikut nguburin jenazahnya, seenggaknya kita hadir berkunjung ke rumahnya.” Ujar Canakya ketika kelas usai.

Teman-teman yang memang tak langsung keluar dari kelas pun anggukkan kepala setuju. Belum terlambat sama sekali untuk bertakziah ke rumah keluarga Samsyir.

“Mau kapan?” Tanya Bentang, dia juga ingin berkunjung ke rumah orang yang dia cinta. Walaupun rohnya masih selalu bersamanya dan menemaninya, tapi dia ingin ucapkan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya pada keluarga Samsyir.

“Minggu gimana? Kalian gak ada jadwal, kan?” Nirina memberi saran, dan sekali lagi teman-teman mengangguk berikan persetujuan.

“Kalopun ada jadwal, gue rela batalin demi Samsyir.” Teman yang lain menyahuti.

“Sadewa ikut, kan?” Lindung yang bertanya pada pemuda yang sedari tadi melamun.

Sadewa arahkan pandang pada Lindung kemudian pada teman-temannya. Bibirnya berkedut samar kemudian kembangkan senyum teramat tipis sambil anggukkan kepala. Dia berkata dengan suaranya yang dalam,

“Ikut, atur aja jadwalnya.”

Seakan mendapat tiupan angin segar di tengah gurun pasir yang gersang, mereka semua tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam kurun hampir empat tahun bersama, mereka melihat satu ekspresi di wajah Sadewa. Senyumnya.

“Oke, hari Minggu kita ke rumah Samsyir. Untuk kendaraan, bisa kita atur lagi. Nanti yang punya motor atau mobil, bisa list aja di grup chat ya.” Putus Canakya.

Samsyir yang sejak tadi mendengarkan tak bisa menahan senyum dan rasa harunya. Teman-temannya sangat menyayanginya, dia bersyukur pernah mengenal dan memiliki mereka dalam kenangannya. Bentang melihat senyuman itu, dia ingin mengatakan pada Samsyir bahawa mereka semua mencintai Samsyir, bangga pernah menjadi temannya. Tapi dia menahannya karena tak mau teman-temannya curiga bahwa sebenarnya Samsyir ada bersamanya.

Setelahnya mereka semua keluar dari kelas, bersiap untuk pulang. Tidak ada lagi kelas yang perlu mereka hadiri hari ini. Ketika tiba di koridor, Lindung mengingat sesuatu yang hampir saja dia lupakan. Dia berhenti di sana sambil menepuk kening. Bentang ikut menghentikan langkahnya, menyerong tubuhnya untuk menatap sahabatnya. Samsyir yang memang sejak tadi mengikuti langkah Bentang juga ikut berhenti, menunggu apa yang akan disampaikan Lindung.

Tapi sepertinya Bentang tak mau Samsyir mendengar pembicaraan mereka, tangannya mengibas di balik punggungnya, memberi isyarat pada Samsyir untuk menyingkir dulu. Sang hantu terkekeh, dia mencubit salah satu jari Bentang kemudian berbisik di telinganya,

“Aku tunggu di depan gerbang, ya.”

Demi Tuhan, bulu kuduk Bentang langsung meremang, suara Samsyir yang berat serta angin dingin yang keluar dari mulutnya buat Bentang tak bisa menahan desir panas di dalam pembuluh darahnya. Dia melirik sekilas pada Samsyir yang sudah berjalan lebih dulu meninggalnyanya dan Lindung, menembus pintu kaca gedung tanpa susah.

RIMBUN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang