16. Cemburu

260 62 21
                                    

Meski Hema sudah akrab dengan Abimana di masa depan, ternyata momen meminta izin mengantar Thalia pulang untuk kali pertama kepada lelaki itu masihlah membuat Hema berkeringat dingin. Di depan ruang OSIS, Hema gugup luar biasa menghadap Abimana. Sudah lima menit mereka saling berhadapan, sudah Hema utarakan tujuannya. Namun, Abimana belum membalas, masih sibuk memindai penampilan Hema, dari atas ke bawah hingga tiga kali berturut-turut. Kecanggungan ini rasanya persis seperti dulu. Tatapan dingin yang Abimana arahkan, tangan yang melipat di dada, intimidasi yang menguar dari balik punggungnya—kombinasi sempurna yang berhasil membuat Hema mules ketakutan.

"Jadi kamu?" tanya Abimana, setelah keheningan panjang yang ia bentang.

"Ya, Mas?" Hema mengernyit bingung. Pertanyaan Abimana itu maksudnya apa? Sungguh tidak jelas awalannya.

"Kamu, orang yang fotonya dipajang Thalia di kamarnya." Abimana lepas kekehan geli, teringat betapa girang Thalia tatkala memamerkan potret seorang pemuda kepadanya. Potret seukuran dompet yang kemudian dibingkai dalam frame bentuk hati. Di tiga hari pertama memajangnya, Abimana selalu menemukan Thalia menatap foto itu lama-lama sambil mengulum senyum. Abimana yang berdiri di ambang pintu cuma bisa geleng-geleng kepala, lalu meledek sang adik, "Cie, ternyata ada juga yang mau ke kamu ya, Tha?" Kemudian ia dihadiahi lemparan bantal oleh Thalia.

Dapat informasi tak terduga tersebut, Hema melongo sesaat, sebelum balik mendapatkan kesadaran dan sadari kalau Thalia lebih bucin ketimbang yang Hema ingat. "Emang iya, Mas?"

Abimana mengedikkan bahu, pamer senyum tengil. Ia tepuk bahu Hema sekali. "Pastiin Thalia sampai rumah dengan selamat. Aku andelin kamu ya, Hema." Tanpa menunggu balasan Hema, Abimana memutar badan, lalu memasuki ruangan di mana pengurus OSIS lainnya sudah menunggu untuk melangsungkan rapat. Inilah alasan ia membolehkan Hema mengantarkan Thalia pulang, sebab Abimana tidak mau sang adik menungguinya rapat, yang kemungkinan baru akan selesai di penghujung hari. Thalia gampang bosan, gampang ngambek juga, maka dari itu kedatangan Hema kali ini bak berkah untuk Abimana. Setidaknya ia lolos dari omelan dan rengekan Thalia.

"Lah? Gitu doang?" gumam Hema. Ia lega, tetapi merasa janggal lantaran dulu Abimana sampai menanyakan Hema tinggal di mana dan bertanya nomor plat motornya. Pokoknya dulu Abimana bersikap amat waspada dan protektif. Namun, ya sudahlah. Di kali kedua kisahnya bersama Thalia ini, hal-hal memang terasa lebih mudah. Berubah jadi lebih membahagiakan.

Hema pun beranjak pergi dari sana. Dengan perasaan yang lega membawa langkah ringannya menuju parkiran di mana Thalia menunggu. Ia sempat kebingungan mencari-cari eksistensi gadis itu, padahal jumlah kendaraan roda dua tidak lagi banyak, tetapi di antara sepi sekeliling, batang hidung Thalia tak kelihatan. Hema berulang kali memanggil nama sang kekasih, dan pada teriakan ketiga, satu tangan tiba-tiba terangkat tinggi-tinggi dari balik motor di hadapan Hema, hanya berjarak beberapa langkah darinya.
Kekehan Hema memecah kesenyapan, menemukan apa yang Thalia lakukan sebagai sesuatu yang menggemaskan.

Tak kuasa pemuda itu menahan tawa begitu sosok Thalia dapat dibingkai penglihatannya; berjongkok sembari mengelus hewan berbulu yang lucu. Dengan mata berbinar-binar Thalia memandang seekor kucing besar plus tiga anaknya yang seukuran kepalan tangan. Dua kitten asik menyusu, satu lagi mulai menjerit-jerit sebab Thalia iseng menariknya hingga bibir kucing kecil itu lepas dari puting sang induk.

"Lucu banget," gumam Thalia.

Hema ikut berjongkok di sisi Thalia, tidak melakukan apa-apa, tidak juga melontarkan barang sepatah kata, hanya menatap Thalia dengan sorot penuh puja. Thalia selalu menawan di pandangan Hema, tetapi di momen ini, keluguan yang tampak di wajah Thalia membuat kecantikannya jadi sukar didefinisikan kata-kata. Cantik sekali.

"Lihat, deh!" Dengan antusias Thalia menyodorkan kucing dalam genggam kepada Hema. "Emang boleh selucu ini? Lucu banget! Pengin aku gigit!"

"Gigit aja—eh!" Hema sigap menahan kening Thalia saat dilihatnya gadis itu membuka mulut, sepertinya betulan mau menggigit kepala si kucing yang menangis kian keras. "Jangan digigit beneran atuh. Bulunya nanti masuk mulut, bengek kamu nanti," tegurnya. 

[✓] Second ChanceWhere stories live. Discover now