The Virgin Flower

130 21 2
                                    

"Berapa harga yang pria bayar untuk menyewa diri mu dalam semalam?"

"Pergi kau, pelacur kecil!"

Hinaan itu terus berputar di dalam benaknya. Mereka selalu memandang memiliki wajah yang indah sebagai sebuah kesalahan, menyatakan bahwa wajah cantik hanya layak dimiliki oleh seorang pelacur.

Itu telah menjadi kebiasaan di desa Countwill, terletak di negara Ivor. Desa yang dipenuhi oleh anggota aristokrat yang sering kali menyewa wanita cantik untuk memuaskan nafsu mereka dalam semalam.

Senna Clayton, seorang wanita yatim piatu berusia 22 tahun, memiliki mata coklat terang dan rambut chestnut brown panjang yang selalu terurai. Dia terlalu indah untuk hidup di desa yang kejam ini.

Berkali-kali dia pindah dari satu kastil bangsawan ke kastil bangsawan lainnya, hanya untuk mencari sedikit kenyamanan dalam bekerja.

Namun usahanya sia-sia, karena dia tidak pernah diperlakukan sebagai manusia. Para bangsawan merasa mereka adalah kasta tertinggi dan berhak memperlakukan orang biasa seperti dirinya lebih rendah dari hewan.

Dan sekarang, tepat pada tanggal 22 Desember 1885, negara menyatakan perang bersama Sakaris.

Di tengah-tengah kekacauan perang, Senna merasa getir namun juga lega. Karma tampaknya sedang berkunjung bagi para bangsawan yang telah bersikap kejam.

Namun, di tengah gejolak ini, dia merasa tersesat. Tanpa keluarga atau tempat yang bisa dipanggil sebagai rumah, ke mana dia akan pergi?

Kastil yang dulu menjadi tempatnya tinggal kini telah jatuh ke tangan musuh. Senna memegang erat tasnya, isinya hanya beberapa pakaian dan sejumlah uang yang telah ia tabung selama ini. Di antara gemerlap api dan bunyi meriam, satu-satunya jalan yang ia lihat adalah pelarian.

Melangkah di jalanan berdebu, di bawah langit yang dipenuhi asap, Senna merenung. Mimpinya adalah memulai kembali di tempat yang baru, di bawah cakrawala yang belum pernah ia jelajahi sebelumnya.

Dengan langkah pasti, dia melangkah, menuju cahaya redup di ujung jalan, mencari tempat yang bisa dipanggil sebagai rumah.

Di sela-sela kepadatan stasiun, Senna memesan tiket tanpa tujuan. Tak peduli kemana arahnya terurai. Yang pasti, meninggalkan derita yang terlalu.

Di dalam gerbon yang berdebu, dia duduk di sana memandangi ke luar jendela. Seakan dia adalah gadis kecil yang hilang arah.

Perjalanan panjang menanti membawa angan-angan yang terurai. Satu hari penuh, mungkin lebih jika ada penghalang dan rintangan dari tentara musuh.

Namun di atas rel yang panjang, Senna melangkah dengan langkah pasti. Menuju Edoril, menuai impian di negeri baru.

Negara ini bagaikan lukisan indah, sangat kontras dengan tempat kelahirannya yang terlalu kejam. Di sini, bangsawan tersenyum sopan, tak sekalipun terlihat kejam dan menyebalkan.

Dengan langkah kecil, dia masuk ke toko roti, perutnya yang kosong menggerutu setelah satu hari tak terisi. Sekarang, waktunya untuk mengganjalnya kembali.

Namun, di tengah langkahnya, pertanyaan kembali mendera, ke mana dia akan pergi? Menginap di hotel sepertinya bukan pilihan yang memungkinkan, mengingat biayanya yang pasti melambung tinggi. Senna tahu dia harus segera mencari pekerjaan, agar tabungannya tidak cepat habis.

Saat pikirannya terombang-ambing oleh kegelisahan, tiba-tiba sebuah kejutan mengusiknya, sebuah klakson mobil yang begitu keras menggetarkan telinganya sekaligus tangan yang meraih pundaknya secara kasar.

"Kau salah tempat jika ingin bunuh diri." desis suara kasar, meski terdengar lapisan kekhawatiran di baliknya.

"Maaf, tuan," desahnya dengan penuh penyesalan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Beneath the Dyer's GraspTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang