Harga Diri

11 2 4
                                    

Sebelumnya, Tare mau minta maaf, soalnya ... bab ini ditulis agak buru-buru. Jadi mungkin agak lompat-lompat, kecepatan, atau ada keanehan lainnya. :(

****

Ray tahu, semuanya akan kontra dengan ucapannya. Namun, ia teguh pendirian.

"Kalau kalian enggak tahu, ini sesuai rencana. Bedanya, aku belum ke alun-alun, dan Arin masih di sini." Ray memegang topi, makin menyembunyikan wajahnya. "Alias, ini masih kecepetan. Dia buru-buru."

"Tapi, kamu belum pulih benar!" Arin mengguncang lengan Ray. "Aku enggak mau kamu maksa!"

"Aku enggak akan memaksa." Ray menyentuh kepala Arin. "Selama ada kamu, aku aman."

"Apa-apaan ini, kenapa jadi cowok yang mengandalkan cewek?" seloroh Danang.

Namun, Arin maju. Ia berjinjit dan menunjuk wajah Ray. "Janji?"

"Janji." Ray menangkap tangan Arin dan langsung menciumnya.

Semua yang ada di sana terpaku.

"Non—Arin." Indra memecah suasana. "Bergegaslah."

"Apa mobilnya muat?" Iskandar muncul, bersama Siti. "Kami akan ke rumah Mister. Apa dia di rumah?"

"Ya. Tuan masih syok. Tolong temani beliau."

Berdesak-desakan, mereka masuk ke dalam mobil yang langsung melaju. Iskandar di sebelah sopir; Arin, Ray, dan Siti di tengah; sementara Danang dan Eki di belakang. Beruntung, mobil itu cukup besar. Setelah beberapa menit, mereka tiba di rumah Nuris. Iskandar dan Siti lekas berpamitan.

"Sekarang," Indra memainkan kopling, "kita susul Geo dan beberapa personel. Ke jalan Seroya."

"Eh?" Danang menyahut. "Eugeo enggak ke sana. Dia ke jalan Ayodya."

"Yang benar?!"

Suara Indra yang menggelegar membuat kepala Ray seketika serasa mau pecah. Ia langsung meringkuk, sementara Arin mengelus kepalanya. "Mas Indra. Jangan keras-keras."

"Ma-maaf ...." Indra tergagap. "Alamat surat kaleng itu jelas. Katanya, Arin ada di jalan Seroya."

"Enggak. Dia sengaja memecah." Danang mencengkeram jok di hadapannya. "Kalau mau, Mas, kita berpisah. Sebagian ke jalan Seroya, sebagian ke Ayodya. Eki, gimana?"

"Ray, gimana?" Eki malah melempar pertanyaan.

"Aku akan ke tempat Eugeo. Dia sasarannya sekarang. Surat kaleng ... itu hanya kecohan." Ray akhirnya kembali duduk tegak. "Mas Indra, ke jalan Ayodya. Kita semua."

"Apa kamu tahu tujuan dia membuat dua surat dengan alamat berbeda, tapi isinya sama? Sama-sama bilang soal Arin?" tanya Indra sambil melajukan mobil.

"Sederhana. Dia memancing Arin ke tempat Eugeo sekarang, dan surat itu diberikan di depan teman-temannya, biar yang lain mengabari kami ... dan Arin, biar menunjukkan diri di sana."

Indra mengerem mendadak. "Kalau begitu, kenapa kalian berdua ikut?!"

"Karena mereka salah perhitungan," jawab Arin tenang.

"Mereka tahu Arin enggak di rumahnya. Pasti mereka lihat dari jendela kamarnya yang enggak ada kehidupan berhari-hari. Surat kaleng di rumah itu hanya kabar palsu biar seisi rumah panik dan langsung ke lokasi bodong tanpa pikir panjang. Keluargaku enggak punya telepon, tahu." Ray bertopang dagu. "Dia, atau mereka, benar-benar berniat menculik Arin lagi. Pasti mereka menyiapkan orang untuk mengeroyok, dengan perhitungan kalau sebagian dari grup kami terpencar, mereka bisa mengatasi semuanya."

Our Past (rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang