17. Terulang

238 59 42
                                    

⚠️Non-consensual—blood⚠️

***

Suara tawa menggema di teras rumah Nata malam itu. Tiga pemuda duduk melingkar di sana, memainkan kartu gaple dengan kondisi muka belepotan oleh bedak bayi. Hema lalu memekik sekali lagi kala menjadi satu-satunya yang masih memegang kartu di saat permainan selesai, otomatis Mahesa dan Nata berhak mencoret wajahnya pakai serbuk putih yang ditabur pada telapak tangan masing-masing. Nata tertawa nista setelah mengusapkan telapak tangannya yang penuh bedak ke muka Hema, bikin Hema tersedak lantaran serbuk tersebut memasuki hidungnya. Mahesa yang iba sebab Hema mendapatkan paling banyak hukuman, lantas hanya menaruh bedak di ujung telunjuk, mencoret kening Hema sedikit saja—menuai protesan Nata yang sebal terhadap kemurahan hati kakak sepupunya.

"Udah malem, Jang." Abah tiba-tiba muncul di pintu. "Geura sare, enjing sakola." Lalu dengan langkah yang sudah tertatih-tatih, Abah kembali masuk ke dalam, pergi ke kamarnya.

Patuh, Mahesa mulai membereskan kartu selagi Nata dan Hema sibuk mengelap muka pakai bagian bawah kaos masing-masing. Namun, begitu kartu telah dimasukkan ke kardus, alih-alih bergegas ke dalam untuk tidur, ketiganya malah selonjoran sambil menatap kosong kegelapan. Jeritan jangkrik mengisi senyap di antara mereka yang kesadarannya tenggelam dalam lamunan. Hema kembali dibelenggu kekhawatiran perihal Thalia, membuatnya tidak tenang, membuatnya ingin terus menjangkau Thalia lewat pandang, memastikan gadis itu baik-baik saja. Sayangnya, tak mungkin. Hema tidak punya kuasa menempeli sang kekasih sepanjang waktu. Kehidupan di sini berjalan tidak dengan Hema sebagai peran utama yang bebas melakukan apa pun. Hema tetap terikat aturan.

Yogi, sosok ini datang terlalu awal. Di masa lalu yang sebenarnya, lelaki itu baru menunjukkan eksistensi diri di penghujung masa SMA Hema, selisih dua minggu dari hari kelulusan. Akan tetapi kenapa sekarang batang hidung Yogi sudah kelihatan bahkan ketika Hema baru mencecap manis masa ini kurang dari dua bulan? Presensinya terlalu dini, merusak hari bahagia yang Hema kira bakal berlangsung lebih lama. Serakah dalam diri Hema bahkan lancang inginkan selamanya.

"Nginep kamu?" Nata bertanya pada sosok di sebelahnya, lalu ia dengar Hema mengiyakan. Nata kemudian menghela napas panjang. "Reyhan udah seminggu enggak ke sini," bisik Nata. Senyum nelangsa menggantung di sudut bibirnya. Nata merindukan kawannya yang suka mengomel itu.

"Aku harus ngapain ya biar dimaafin sama dia?" gumam Hema yang juga mulai merasa kehilangan. Berbeda dari Jere yang baru akrab tiga tahun, dengan Reyhan, Hema sudah saling kenal sejak kecil. Tumbuh bersama selayaknya saudara. Ia sebenarnya agak sedih Reyhan memihak Jere, padahal jika dilihat dari kedekatan, Hema jauh lebih mengenali Reyhan.

"Putusin Thalia," balas Nata, enteng, tetapi bikin Hema murka—enggak juga, sih. Hema cuma melirik sekilas sambil mendengkus keras. Sementara di sebelah kiri Hema, Mahesa melepas kekehannya. "Tapi, Hem ... gimana sih rasanya disuka sebegitu hebat sama seseorang? Semua orang bisa tahu dia suka ke kamu cuma dengan lihat cara dia natap kamu. Thalia kelihatannya bangga banget punya kamu." Nata menoleh, dengkusan gelinya lolos tatkala menemukan senyum Hema mengembang lebar—sampai-sampai Nata ngeri bibir Hema bakal sobek.

"Rasanya ...." kelewat membahagiakan. "Ya ... seneng aja." Sebab yang dirasa tidak akan bisa Hema tuang ke dalam kata. Bahagia yang Thalia curahkan ke hidup Hema bagaikan hujan yang tidak ada redanya. Membasahi setiap sudut yang gersang pada diri Hema.

"Seneng aja apa seneng banget?" goda Mahesa dibarengi kekehan. Kepalanya menggeleng pelan ketika dapati Hema cengengesan. Raut jenaka di mukanya kemudian memudar, berganti serius. Ia mengulas senyum tipis, menatap mata Hema dengan sorot teduhnya.

[✓] Second ChanceWhere stories live. Discover now