18. Jangan

268 64 28
                                    

Kehilangan orang terkasih tak pernah jadi perkara mudah untuk dihadapi. Bukan lagi seperti langit runtuh dan menghimpit raga, melainkan seperti semesta menemui batas waktu. Ikut berhenti bersama lepasnya embusan napas terakhir. Detik melambat selagi lara mendera jiwa-jiwa yang berduka, memorak-porandakan dunia mereka yang ditinggalkan. Perasaan nelangsa yang amat menyakitkan ini pernah ia alami dulu. Takdir pahit disuguhkan di jam yang sama kepada Hema, jam satu dini hari, ketika gelap memeluk bumi. Di sana, Hema mematung tak berdaya memandang kenangan paling kelam yang coba ia timbun di dasar ingatan malah kembali terpampang. Lagi-lagi, Hema remuk redam di bawah gerimis yang mulai berjatuhan. Untuk kedua kalinya Hema dipaksa menyaksikan Mahesa kepayahan dalam sekaratnya.

Nata memaksakan kakinya untuk melangkah, terasa amat berat Nata menyongsong raga pemuda yang berbaring di atas genangan darah. Kesenyapan yang mengekori Nata perlahan pudar ditindih isakannya, semula pelan lantaran ditahan-tahan. Namun, begitu ia bersimpuh di sisi Mahesa, melihat dengan jelas darah yang mengucur dari luka sabetan di kepala dekat telinga-tangisan Nata kontan pecah. "Esa?" pangilnya lirih. "Bangun, Sa ... Ayo kita pulang, Esa ...."

Tidak ada sahutan, Mahesa membisu. Mulut yang sedikit terbuka itu hanya mampu mengambil dan meloloskan udara dengan susah payah. Matanya yang setengah terbuka dengan bagian hitam tersembunyi di balik kelopak atas indikasikan kesadarannya sudah tidak stabil lagi. Dada Mahesa masih bergerak naik-turun, tetapi temponya lamban. Suara ketakutan Nata yang tak henti-hentinya meminta Mahesa membuka mata, mengajak Mahesa pulang-tidak mampu lagi Mahesa tangkap dengan rungunya. Denging panjang memenuhi telinga, gemuruh yang bagaikan Lullaby itu berhasil membuainya. Maut melambai dari ambang pintu kematian, dan Mahesa pun dengan ragu menyongsongnya.

"Ah, anjing!" teriak Nata di antara raungannya yang memilukan. Nata berulang kali memukul tanah, tidak peduli meskipun buku-buku jarinya mulai berdarah. Tidak, demi Tuhan, rasanya tak sakit. Bahkan luka sayat yang cukup dalam di dekat siku pun tak terasa sama sekali. Nyeri di fisik kalah oleh denyut yang cengkeram jantungnya. Perih, ngilu, sakit sekali. "A'? Suaraku kedengeran kan, A' Esa? Jawab atuh, A', ini aku lagi ngomong ke kamu." Sebelah tangan Nata yang berlumuran darah dan gemetar itu menyentuh dada Mahesa. Diusapnya dengan lembut sembari berharap detakan di dalam sana terus ada.

Di sisi lain, Hema yang baru mampu lepas dari belenggu ketidakpercayaan pun beringsut melepas baju. Dengan tergesa mendekat pada Mahesa dan Nata. Ia bersimpuh. "Ayo bawa ke RS, Na. Bantuin aku pasang ini-" Hema melipat kaosnya, lantas ketika Nata mengangkat sedikit leher Mahesa, Hema bergegas membebat kepala si pemuda yang lebih tua. Hema tidak yakin dengan apa yang dilakukannya, tetapi saat terjadi luka yang sebabkan pendarahan, bukankah pertolongan pertamanya adalah menghentikan titik pendarahan tersebut? "Kamu sanggup nggak gendong A' Esa-biar aku aja."

Sebab Hema rasa Nata tidak sanggup mengangkat tubuh Mahesa dengan tangannya yang luka. Hema lekas menggendong Mahesa, sementara Nata beringsut mendekatkan motor ke posisi mereka. Kepala Mahesa yang sempat tergolek ke bahu Hema bikin bagian tubuh kanan Hema basah oleh darah. Bau anyir seketika merebak di udara, menghajar penciuman Hema. Waktu terus berlarian, bergerak amat cepat mengikis kesempatan Mahesa untuk selamat. Kian genting suasana ketika Mahesa sudah berhasil duduk diapit Hema dan Nata. Senyap yang meraja membuat Hema dapat dengan jelas dengar detak jantungnya sendiri, menggedor-gedor rongga dada. Sakit, Hema nyaris tumbang di balik sikap sok tegar yang dipertontonkannya.

Hema tancap gas, soal Thalia sudah menguap dari kepalanya. Sejenak ia lupa bahwa gadis itu juga tidaklah baik-baik saja. Yang sekarang terus berdengung di telinga Hema hanya soal bagaimana menahan Mahesa agar tidak menyambut rayuan kematian.

Motor melaju kencang di jalanan yang sepi, membelah gelap malam. Angin menabrak muka Hema, menghasilkan gemuruh yang memekakkan telinga. Namun, kendati berisik, suara ngorok Mahesa tetap kedengaran. Memenuhi pendengaran Hema seperti nyanyian kematian. Hema menggigit bibirnya kuat-kuat, lalu mengusap kasar mata ketika pandangan mulai memburam. Sebab kata orang, jika suara ngorok diperdengarkan mereka yang tidak sehat, berarti nyawa telah sampai di tenggorokan. Enggak ... enggak, Esa ... jangan ke mana-mana lagi. Aku nggak mau lihat kamu ditimbun tanah untuk kali kedua, Sa. Kali ini Hema biarkan bulir-bulir air berjatuhan dari mata, lantaran di belakang, suara tangisan Nata mengalun dengan nada amat pedih. Pasti luluhlantak perasaannya mendekap raga Mahesa yang sekarat.

[✓] Second ChanceWhere stories live. Discover now