30. Teror

725 136 9
                                    

Beberapa hari ini, Aldebaran tampak gelisah. Dia seperti sedang mencoba menutupi sesuatu dari Andin, tapi sayangnya dia tidak bisa berbohong pada istrinya.

Andin sudah sering bertanya kepada Aldebaran tentang apa yang sebenarnya terjadi, namun Aldebaran selalu mengalihkan pembicaraan sehingga membuat Andin semakin curiga.

Sore ini, Andin yang hendak menutup gorden jendela tidak sengaja melihat mobil Aldebaran sudah terparkir di teras rumahnya.

"Loh mas Al udah pulang? Kok gak langsung ke kamar?" batinnya.

Andin bingung dengan sikap Aldebaran yang tidak seperti biasanya ini. Akhirnya, Andin menuju ruang kerja suaminya dan mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Dia memergoki Aldebaran sedang gelisah, tampak takut, dengan mata yang merah seperti ingin menangis.

Andin masuk tanpa aba-aba, membuat Aldebaran terkejut dan berusaha mengelak, tetapi sepertinya kali ini dia tidak bisa berbohong lagi.

"Ndin? Hey kamu di sini?"
"Maaf ya mas, tadi aku langsung masuk karena pintunya kebuka."

Aldebaran pun menyuruh Andin untuk duduk sementara ia berdiri.

"Mas, kamu sebenernya kenapa? Lagi ada masalah? Cerita dong sama aku, aku sedih loh lihat kamu begini terus."

"Nggak kok, cuma ada masalah sedikit aja di kantor." jawab Al dengan suara bergetar.

Andin menatap suaminya lekat, seolah mengetahui bahwa suaminya sedang berbohong.

"Kalau masalah kantor kayaknya kamu gak akan sampai begini deh. Jangan bohong mas.. Kamu gak mau cerita sama aku?"

"Bukan gitu ndin, saya cuma gak mau kamu kepikiran atau stres.."

"Mas, kita ini kan suami istri, udah seharusnya saling support kalau ada masalah. Siapa tahu kita bisa pikirin solusinya bareng-bareng kan?"

"Tapi masalah ini gak segampang yang kamu pikirin ndin.." batin Al.

"Mass?"

Aldebaran menghela napasnya.

"Tapi janji gak boleh terlalu mikirin masalah ini ya, apalagi sampai stres, biar jadi urusan saya aja."

Aldebaran pun akhirnya bercerita dengan sangat hati-hati. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara.

"Beberapa hari ini saya diteror sama seseorang gak dikenal."
"Diteror gimana?"

"Saya dapet surat yang mengancam nyawa saya, saya  ngerasa diikutin orang terus, bahkan jendela kantor juga pecah karena dilempar pake batu malam-malam."

"Awalnya saya pikir ini cuma kebetulan atau ancaman biasa aja dari rival saya, tapi kejadian-kejadian ini terus berlanjut dan gak pernah berenti. Tiap saya pulang malam, saya selalu ngerasa ada yang ngawasin dari jauh. Surat-surat itu juga cukup buat saya khawatir, isinya mengancam saya dan keluarga kita."

Andin mendengarkan dengan seksama, mencoba menenangkan diri meskipun hatinya ikut cemas.

"Ya Allah, kenapa kamu nggak cerita dari awal mas?"

"Saya cuma gak mau kamu stres, apalagi dengan kondisi kamu sekarang. Saya takut kamu khawatir dan tertekan, saya cuma mau melindungi kamu dan bayi kita ndin." ucap Aldebaran sambil menggenggam tangan Andin.

Andin menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca.

"Mas, aku akan jauh lebih khawatir kalau aku gak tau apa-apa tentang kondisi suami aku yang sebenarnya lagi dalam bahaya. Aku gak akan bisa tenang kalau kamu terus nyimpen ini semua sendiri."

Aldebaran menghela napas panjang, merasakan beban berat yang telah lama ia pendam mulai terangkat.

"Aku selalu disini buat kamu mas. Kita ini tim, apapun yang terjadi, kita harus hadapi sama-sama. Kalau kamu nyembunyiin masalah kayak gini, aku justru makin khawatir."

Luka dan Rumahnya -Aldebaran & Andin-حيث تعيش القصص. اكتشف الآن