7. Kamu Gak Suka?

405 73 21
                                    

7. Kamu Gak Suka?

Maka di sinilah Ben, menemani Rahma yang sungguh-sungguh menepati ucapannya untuk makan.

Kursi kayu yang terhalang meja bundar itu pun kini tidak lagi hanya terisi oleh Rahma sendiri, melainkan juga objek yang selalu dirindukannya selama ini. Betapa dalam senyap sambil sibuk mengunyah, jantung Rahma berdebar gila, seakan ada letupan semangat yang mendesak dua sudut bibirnya untuk tak henti tersenyum.

Namun, akan sangat memalukan jika dia benar-benar tersenyum, kan? Aduh! Bagaimana ini?

Menyuap cumi tinta yang memang sengaja porsinya dia lebihkan ketika memasak untuk Ben beberapa jam lalu, Rahma menggigit bibir demi menahan luapan hati. Dia mencuri-curi lirik pada Ben yang duduk bersedekap di depannya. Tampang Ben lurus dan minim eskpresi. Rahma tak melebih-lebihkan ketika mengatakan raut wajah Benny Tjokro itu macam kanebo kering yang dijemur di bawah terik matahari. Untungnya, meskipun lebih banyak dinginnya, beberapa raut wajah Ben yang lain pernah dilihat hanya oleh Rahma. Catat, hanya oleh Rahma saja. Raut seperti apa? Ugh! Banyak! Pokoknya bikin jantung maraton sebab kelewat menawan, menggemaskan, bahkan menggoda.

"Lagi makan, mikirnya harus yang sehat-sehat."

Kunyahan Rahma terhenti. Dia mengerjap menatap Ben. "Sok tau." Kenapa tebakan Ben selalu benar sih!?

Telunjuk dan jari tengah Ben pun bergantian diarahkan pada netra Rahma dan dirinya sendiri, seakan mengatakan bahwa Rahma itu terlalu gampang ditebak. Ah menyebalkan! Bukankah katanya lelaki suka perempuan yang membuat penasaran? Jika begitu, Rahma tidak disukai para laki-laki dong? Hem ... Jangan bilang ... Ben juga menyesal menikahinya? Karena tidak ada sensasi menantangnya? Ah ... tapi kalau Ben sih, mau Rahma bikin penasaran atau tidak, akan tetap menyesal. Tak ada satu manusia pun yang akan bersikap sama usai dikhianati.

"Mas."

"Hem."

"... Apa yang bikin kamu jatuh cinta sama dokter Sindi?" Tadinya Rahma ingin tutup mata dan telinga, tapi tetiba saja dia penasaran.

Seperti biasa, bahkan saaaaangat biasa sekali untuk Rahma, bahwa respon Ben setiap kali diajak bicara adalah senyap beberapa detik, barulah menjawab dengan ekspresi lurusnya yang tak berubah sama sekali. "Kamu melihat aku jatuh cinta sama Sindi?"

Rahma mengangguk. "Kamu sulit menerima seorang perempuan dalam hidup kamu. Tapi kamu begitu terbuka dengan dia."

Ben terdiam lagi, menatap Rahma lebih intens, kemudian manggut-manggut seolah mengerti sesuatu. Entah apa yang lelaki itu pikirkan. Lima tahun mereka hidup bersama, tapi isi pikiran Ben tetap sulit tergapai oleh Rahma. Namun satu hal yang Rahma pahami, bahwa anggukan dan kesenyapan Ben saat ini adalah tanda bahwa mantan suaminya itu tidak akan menjawab gamblang pertanyaannya barusan.

"Kamu nemenin aku di sini, emang Sindi enggak marah?"

"... Enggak."

"Yakin??" Rahma menatap sangsi.

"Kenapa memang?"

Mengedik, Rahma meminum dulu air mineralnya untuk menyudahi makan. "Kalau aku jadi dia, aku gak akan ijinin kamu buat nemenin mantan istrimu." Gila saja! "Ya ... meski kamunya udah mati rasa dan gak sudi kembali sama mantan sih, tapi tetap aja, kan, ada kisah yang cukup dalam di antara kalian." Makanan habis. Piring tandas. Gelas pun kosong. "Aku posesif soalnya. Kamu, punya aku, jadi harus jaga jarak sama cewek lain minimal radius sepuluh meter." Yang itu ... Rahma memang pernah mengultimatum demikian. Yakni saat masih pengantin baru dan dia sedang nempel-nempelnya.

Senyum tipis Rahma tersungging mengingat betapa menjengkelkannya tingkahnya kala itu. Namun anehnya, Ben tidak marah sama sekali. Ben terhitung sabar, meski sering dibuat kesal.

Hujan DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang