08 | Sederhana

268 62 19
                                    

Sasuhina 🍒

Hinata duduk bersimpuh di hadapan kedua orang tuanya. Air matanya meluncur deras sejak dia berhadapan dengan ayahnya yang sedang marah besar.
Bahkan sang ibu pun tidak bisa menolong Hinata dari kemarahan ayahnya.

Yang bisa Hinata lakukan saat ini hanya menunduk dan menangis seperti anak itik yang kehilangan induknya.

"Katakan!! Bagaimana bisa nilaimu turun sampai sejauh ini?"

Hinata meneguk ludah, sesekali dia sesegukkan menahan tangisannya. Jangankan menjawabnya, dia bahkan sama sekali tidak berani menatap ayahnya.

"Kau setiap hari berangkat les, ketika ayah melihat ke kamarmu, kau juga selalu belajar dengan tekun. Tapi kenapa? Peringkat mu bisa turun sejauh ini Hinata? Dari satu ke angka tujuh. Yang benar saja, kau itu benar-benar belajar atau hanya pura-pura belajar didepan ayah?"

"A-Aku sudah berusaha, ayah." Jawab Hinata dengan suara parau karna tangisannya.

"Tapi ini pencapaian terburukmu, Hinata. Ada apa? Katakan pada ayah dan ibu. Apa yang menganggu pelajaranmu sampai kau seperti ini?"

Hikari yang sejak tadi terdiam pun terlihat menghela napas panjang.
"Tadi Anao-sensei menelpon ibu, katanya kau sering absen dari lesmu, kalau datangpun kau sering datang terlambat. Ibu tidak menyangka kalau Hinata sekarang pandai berbohong."

Hinata semakin menangis saat Hiashi melempar setumpuk buku kearahnya. Suara tangisan Hinata bahkan bisa terdengar oleh seisi rumah. Para pelayan dan Neji yang ada didalam kamar pun sampai mendengarnya.

"Katakan!!!!! Apa yang kau lakukan diluar sampai kau berani membolos dari lesmu? Siapa yang mengajari mu seperti itu? Akan ayah pastikan, ayah akan memberi pelajaran pada siapapun yang berani mengajarimu membangkang!!!!"

Hinata menggeleng, anak itu mengusap-usap telapak tangannya guna memohon pada ayahnya untuk tidak lebih marah dari ini.
"M-Maafkan Hinata, ayah. Hinata janji, Hinata akan belajar lebih giat lagi. Hinata janji tidak akan membolos lagi."

Hiashi pun berdiri menatap Hinata yang bersimpuh dibawah kakinya.
"Mulai sekarang, kau tidak boleh keluar rumah. Kau juga harus diantar jemput oleh sopir pribadi ayah... Dan sebagai hukuman untukmu, kau tidak boleh menggunakan telepon rumah selama seminggu!"

"H-Hinata mohon ayah, jangan seperti itu.. Hinata janji akan peringkat satu lagi. Hinata janji akan belajar lebih lama lagi, tapi Hinata mohon, jangan larang Hinata menggunakan teleponnya."

Bak tuli, Hiashi pergi begitu saja tanpa mau mendengarkan tangisan sedih anaknya yang memohon belas kasih.
Begitupun Hikari sebagai seorang ibu, dia pun tidak bisa menolong Hinata. Ini demi kebaikannya, karna menurut Hikari, belakang ini Hinata sedikit berubah.
Anak itu sering tidur tidak tepat waktu dan bergadang sampai malam. Entah apa yang dilakukan anak itu.
Yang jelas tagihan telepon rumah membengkak menjadi lebih besar dari sebelumnya.

Bukan masalah tagihannya, tapi Hikari menganggap kalau Hinata sudah kelewatan batas.
Entah siapa yang dihubungi anak itu, setiap Hikari bertanya katanya itu temannya disekolah yang membahas tentang pelajaran. Awalnya Hikari percaya dan membiarkannya.
Tapi lama kelamaan, Hinata sering telepon sampai lupa waktu.

Hinata bahkan sering pulang telat dengan alasan ke perpustakaan terlebih dahulu.
Setiap hari pamit berangkat ke akademi untuk les, tapi betapa Hikari kaget saat sensei menghubunginya dan bertanya perihal Hinata yang sering absen dari les.

Sebenarnya Hikari kasihan melihat Hinata menangis seperti itu.
Tapi disisi lain, dia harus tega demi Hinata.

Karna mau dipaksa sekeras apapun, Hinata tidak akan mau jujur kepada orang tuanya.
Naluri Hikari mengatakan, kalau Hinata sedang menyembunyikan sesuatu dari dirinya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 20 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

NothingWhere stories live. Discover now