Akhirnya Bulan Tahu

75 12 2
                                    

"Kok berhenti sih, Mas? Kita harus cepetan tiba di rumah sakit." Bulan menyeru dari kabin penumpang di sisi Salma saat Bintang tak juga berhenti tertawa.

"Mas! Kamu kerasukan apa gimana, sih?!"

Tak menghiraukan kebingungan sang adik, Bintang kini justru menoleh Salma sembari bertepuk tangan puas.

"Bagus! Akting kamu bener-bener bagus! Nggak sia-sia aku nekat menyusun ide dan berbuat sejauh ini, Salma! Kamu memang gadis yang luar biasa!" 

Merasa kakaknya itu sangat tidak sopan dan nir empati, Bulan yang terabaikan sampai terpaksa memukul lengan Bintang karena gemas.

"Mas! Ngomong apa sih, kamu? Ngeri tahu, magrib-magrib berhenti di sini dan ngomong nggak jelas. Ayo, buruan jalan lagi! Nggak sopan banget Mas ini sama Salma."

"Kita nggak perlu ke rumah sakit, Bulan. Orang Salma itu nggak pa-pa, kok."

Geram atas responsnya yang terkesan semakin tak tahu adab dan tempat untuk bertingkah slengekan, Bulan kembali melayangkan pukulan ringan kepada lengan sang kakak yang duduk di balik kemudi. "Mas Bintang, di mana empati kamu? Salma ini butuh segera ditolong! Kenapa Mas tiba-tiba jadi aneh begini, sih?"

"Salma nggak pa-pa, Lan. Kita cukup beli baju baru saja buat dipakai dia ke Balai Warga sama obat anti nyeri dan anti infeksi di apotek buat alibi kalau kita sudah ketemu dokter." Akhirnya Bintang menjawab santai dan kembali melajukan mobilnya, mengabaikan ekspresi kebingungan Bulan yang masih melekat di wajah.

"Maksudnya Mas apa?" Bulan belum mengerti. Bergantian memandang Salma dan juga Bintang dalam keremangan kabin mobil. "Ada rahasia yang nggak Bulan tahu di sini?"

"Sebenarnya, Mas yang suruh Salma berakting dip3rk0sa sama Mas Bumi. Dia sih aslinya nggak diapa-apain. Cuma syok aja pasti karena tadi habis digerebek warga. Ya, kan, Sal?"

"Beneran itu, Sal?" Tatapan ngeri Bulan kini sepenuhnya tertuju kepada Salma.

Dan anggukan lemah gadis di sebelahnya itu sontak saja membuat Bulan refleks menebah dada kemudian menyandar lemas ke sandaran jok.

"Astagfirullah. Kenapa Mas Bintang sampai kepikiran ide kayak gini? Aku sudah beneran syok lho, Mas. Ngeri kasus ini dibawa ke meja hijau yang mana itu artinya marwah keluarga kita dipertaruhkan."

"Ya, habis gimana. Ayah masih bersikeras maunya Mas Bumi menikah dulu lagi sebelum kita. Kamu sendiri tahu, pakai cara biasa sudah nggak mempan sama dia. Bisa-bisa kita malah yang jadi bujang lapuk nungguin dia.

"Karena itulah, Mas pakai cara ini. Lagian Ayah bilang, Mas boleh pakai cara apa saja, kok." Bintang masih bisa berkelit santai padahal jantung Bulan sudah nyaris copot hari ini.

"Ya tapi, kan, tetap saja nama keluarga kita jadi cemar, Mas. Sekarang semua orang di desa kita sudah tahu kalau Mas Bumi itu pem3rk0sa! Harusnya Mas Bintang ajakin Bulan diskusi dulu sebelum ambil keputusan biar nggak ngawur gini."

"Ayah melarang Mas ngasih tahu kamu dan Ibu. Jadi gimana Mas mau bilang-bilang?"

"Jadi, Ayah juga tahu kalau peristiwa ini hanya sandiwara?"

"Nggak sih. Ayah cuma ngizinin Mas pakai jalur kiri. Tapi Ayah sama sekali nggak tahu apa rencana Mas."

"Terus sekarang nasib nama baik keluarga kita bagaimana? Kalau berita ini sampai terdengar juga oleh orang tua Mbak Dewi dan Mas Danu, kisah asmara kita juga bisa berantakan, Mas. Gimana kalau mereka nggak mau bersama kita lagi setelah Mas Bumi tersandung kasus ini? Mas Bintang, ih. Kenapa nggak berpikir panjang sebelum nekat, sih?"

"Mas sudah pikirkan masak-masak, Bulan. Mas tahu cara ini penuh risiko. Tapi kamu nggak perlu terlalu cemas. Karena nanti orang-orang juga akan diam kalau Mas Bumi menikahi Salma."

Terlalu Besar Where stories live. Discover now