12

11 9 1
                                    

Louis kembali dari rumah Celine, langkahnya ringan dan senyum merekah di wajahnya, membawa cerita tanpa kata yang menyentuh hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Louis kembali dari rumah Celine, langkahnya ringan dan senyum merekah di wajahnya, membawa cerita tanpa kata yang menyentuh hati. Saat Luna akan diantar pulang oleh Edgar, tanya-tanya pun memenuhi udara di rumah Louis.

"Ayah?" panggil Louis, suaranya bergetar di hadapan sang ayah.

"Dari mana kau, Louis?" tanya sang ayah dengan nada tegang.

"Dari rumah Celine," jawab Louis, langkahnya terhenti di ambang pintu.

"Lagi dan lagi," desah sang ayah, kekecewaan melintas di matanya.

"Sudahlah, Sayang, kita punya tamu," potong ibu dengan lembut.

"Bu, aku akan mengantar Luna pulang sekarang, jam delapan sudah dekat," ucap Edgar, suaranya penuh tanggung jawab.

"Iya, hati-hati," sahut ibu, senyumnya hangat membalut kepergian Edgar dan Luna.

Setelah keduanya pergi, sang ayah memanggil Louis, menatapnya lekat seperti ingin menyelami pikirannya.

"Kenapa kau pergi ke rumah Celine?" tanya sang ayah dengan suara penuh kekhawatiran.

"Tadi, Bu Sabrina menelponku, meminta bantuanku untuk mengantarkan mereka pulang," kata Louis, suaranya lembut bagai sapuan angin senja.

"Dari mana mereka?" tanya sang ayah, matanya bergejolak gelisah.

"Mereka dari rumah sakit," jawab Louis, tatapannya lembut penuh empati.

"Ya Tuhan, siapa yang sakit, Nak?" tanya ibu dengan suara yang penuh kasih.

"Celine mengalami kecelakaan bulan lalu, Bu," ujar Louis, suaranya terasa rapuh.

"Innalilahi..." kata ibu dan ayah Louis serentak, doa terucap dalam hati yang bersimpati.

"Celine patah tangan dan mengidap amnesia sementara," cerita Louis, suaranya hampir putus oleh getaran emosinya.

"Ya Tuhan, mungkin kita harus mengunjungi keluarga Sabrina," suara ibu terdengar pelan namun penuh dengan kebijaksanaan.

"Tidak perlu," potong sang ayah dengan tegas, keputusannya keras bak batu besar yang tidak dapat dibelah.

"Sayang, janganlah keras hatimu," bisik ibu dengan lembut, matanya memancarkan cahaya kebijaksanaan.

Ayah Louis terdiam, diam seribu bahasa dalam kebimbangan hatinya. Akhirnya, ia bersuara, "Baiklah, besok sore, kita bertiga akan mengunjungi mereka, setelah ayah selesai bekerja."

"Sungguh?" tanya Louis, matanya berbinar tak percaya.

"Iya," jawab ayah Louis, senyumnya tak terelakkan.

"Baiklah, Ayah," sahut ibu dengan hangat, senyumnya mengembang bak bunga yang merekah.

Louis melangkah menuju kamarnya, hatinya penuh dengan kelegaan dan harapan. Ia menyadari, terkadang kelemahan seseorang berada di balik kelembutan hati yang tak kenal lelah.

Reality:1022 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang