31. Sebuah Fakta Menyakitkan

1.1K 263 254
                                    

Daffa menghela napas setelah menatap sengit dua bocah di hadapan secara bergantian. Sambil meredam amarah, pria itu berbalik menutup pintu. Bukannya berlebihan, Daffa hanya takut ruangan penuh kenangan indah ini akan rusak jika sering terjamah. Sekalipun oleh anak sendiri.

Karena bagi Daffa, hanya kamar ini satu-satunya tempat pelepas rindu paling ampuh. Tempat yang tiap-tiap sudutnya masih bernyawa. Sebab sejak kepergian sang kembaran, ia tak pernah mengubah letak tatanan yang ada. Semua masih sama. Bahkan seragam basket mereka pun masih tergantung apik di sudut, hanya saja terlihat sedikit berdebu dan usang.

"Kita cuma pengen ambil gitar, Pa. Nggak ngapa-ngapain, beneran," ujar Dika inisiatif membuka percakapan. Karena rasa-rasanya, kemarahan Daffa membuat suasana cukup tegang.

"Siapa yang izinin kalian ambil barang dari kamar ini?" tukas Daffa pula. Rahangnya menegas dengan dahi mengkerut.

"Pinjem bentar, Pa. Dika cuma pengen belaj—"

"Udah berapa kali papa jelasin soal ini ke kamu, Dika? Nggak paham-paham juga?!" sentak pria itu cukup nyaring.

Nyali Dika menciut seketika. Bocah yang tengah mengenakan kaos oblong putih itu spontan melipir. Bersembunyi di balik tubuh Reyhan seolah meminta pertolongan.

Reyhan yang sejak awal hanya diam pun terpaksa angkat bicara. Terlebih dahulu meminta maaf lalu kemudian berjanji tidak akan melakukan hal yang sama lagi.

Sesungguhnya, semua itu tak cukup mampu meredam amarah Daffa yang terlanjur bergejolak. Namun, karena tak tega dengan rona pucat di wajah Reyhan, ia pun terpaksa mengalah. Mengeluarkan debas lagi untuk kemudian menginterupsi keduanya duduk di kasur.

Percayalah, ada banyak pertanyaan yang ingin Reyhan lontarkan saat ini. Terlebih pasal figura besar sejak awal mampu mengganggu fokusnya. Tidak hanya itu, banyak juga potret-potret di dinding berisikan dua orang berwajah serupa. Keduanya selalu berpose harmonis, seolah tak ingin ada jarak di antara mereka.

Namun, semua pertanyaan itu terpaksa Reyhan tahan sebab dadanya tiba-tiba kembali berdenyut. Spontan ia merunduk menahan nyeri.

"Papa jangan sedih, dong. Maafin Dika, Pa."

Daffa sedikit terkejut mendapat pelukan mendadak dari arah samping. Saat ditilik, rupanya sang putera sudah menyandarkan kepala di dada bidangnya. Tak sadar, Daffa pun tersenyum seraya mengusap setitik air di ujung pelupuk. Sial, ia tak pernah tak menangis saat menyelami kembali puing-puing memori yang tersisa di sana.

"Maaf jadi bikin papa kangen lagi sama om Daffi. Lagian kan biasanya hari gini papa di kantor. Kenapa tiba-tiba ada di depan kamar ini, coba?"

"Gatau, tadi tiba-tiba kepikiran pengen pulang. Mungkin om Daffi kasih feeling kalau kamar ini bakal diacak-acak sama kalian."

"Kita nggak senakal itu, Pa ...."

Lagi, Daffa kembali tersenyum. Kali ini cukup lebar, bersamaan dengan emosi yang mulai menguap sedikit demi sedikit. "Papa nggak anggap kalian nakal, papa cuma berusaha ngejaga yang tersisa, Dek," ucapnya parau seraya mengusap punggung Dika.

"Om Daffi pasti udah bahagia di sana. Papa nggak perlu sedih terus. Kan udah ada Dika, mas Rey, sama adek kembar nanti."

"Beda, Dek. Kamu nggak akan tau rasanya karena kamu lahir sendirian. Kalau papa sama om Daffi, kami lahir bareng-bareng. Tumbuh besar bareng-bareng. Main, makan, sekolah, tidur, semuanya bareng-bareng. Tapi sayangnya, takdir misahin kita."

Dalam ringkuknya, Reyhan tersentak. Perlahan mengangkat pandang untuk kemudian memandang wajah sendu Daffa dari arah samping. Setelahnya kembali menyisir sekitar, sampai netranya menemukan banyak benda yang rata-rata berjumlah dua. Ternyata, dua orang berwajah serupa di dalam figura-figura itu adalah Daffa beserta kembarannya. Mungkin penuaan yang dialami Daffa menciptakan perubahan yang cukup signifikan. Hingga membuat Reyhan tak menyadari itu sejak awal.

Yayımlanan bölümlerin sonuna geldiniz.

⏰ Son güncelleme: 6 days ago ⏰

Yeni bölümlerden haberdar olmak için bu hikayeyi Kütüphanenize ekleyin!

BoKemHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin