Chapter 8

28.7K 2K 120
                                    

Haii setelah semedi akhirnya bisa upload part ini. dan buat diantara kalian ada yang copas cerita aku, STOPLAK UNTUK MENGCOPAS. Nggak malu apa ambil punya orang trus dengan bangga nya mengakui itu milik pribadi?  Ini alasan aku ngehapus beberapa part Revenge in Love, Married by Accident, Love?, I Found You, I Want To Normal. Dan buat kalian yg nggak suka aku HAPUS BEBERAPA PART ITU, SILAHKAN LEAVE TANPA BERKOMENTAR YANG BIKIN SAKIT MATA LIATNYA.
Mungkin beberapa ada yg kaget aku kok mendadak sensi begini, nulis pake CAPS LOCK. karena yaaah udah lama dipendem hal2 yg gak menyenangkan ini. so, bijaklah dalam berkomentar. NGGAK SUKA? SILAHKAN LEAVE. OKEEE?
Ini part pendek banget ya. Jangan PROTES. UDAH WARNING DI SINOPSIS.

Mala masih mengernyit. Tampaknya gadis itu berusaha menggali memorinya yang terdahulu. Sesaat kemudian kernyitannya didahi menghilang, berganti dengan senyuman hangat. "Ah! Mala ingat, Mas Radit sepupu Wiken kan ya?"
Radit tertawa pelan. "Iya, Mas sepupunya Wiken. Untunglah kamu udah ingat."
Mala meringis malu, membuat pipinya memerah. "Maaf Mas." Mala kemudian menatap Ibu yang masih terlihat bingung. "Ibu ingat Wiken kan? Temen kuliah Mala? nah Wiken ini sepupunya Mas Radit!"
"Oohh, iya, iya, Ibu tahu." Ibu mengangguk-ngangguk mengerti setelah diam sejenak. "Sepupuan ternyata."
Radit hanya tersenyum. Matanya kemudian memandangi kedua kaki Mala lekat. Dia kemudian berjongkok tepat dihadapan Mala. Sorot matanya berubah nanar. hanya sesaat karena selanjutnya ia tersenyum hangat pada Mala. "Jadi, apa yang kamu rasain dengan kaki kamu? Total mati rasa?"
"Enggak juga sih Mas. Pernah beberapa kali jari kaki aku bisa digerakin. Kayak gerak refleks gitu. Tapi juga nggak sering."
Radit mengangguk kecil. "Punggung kamu, suka nyeri?"
"Kadang suka nyeri."
"Oke." Radit berdiri dan menatap Ibu. "Kita bisa mulai sekarang fisioterapinya Bu. Tapi sebelumnya Mas mau bilang, terapi ini butuh proses yang lama. Tapi bisa pulih cepat kalo Mala terus berusaha dan banyak berdoa. Nggak boleh nyerah."
Mala mengangguk semangat. "Iya Mas. Mala ngerti. Dan Mala pengen banget cepet pulih."
Radit tertawa kecil kemudian beralih pada suster. "Oke, kita mulai ya."

***

Wulan memasuki rumah dengan wajah lelah. sore tadi, Wulan kembali ditegur oleh pak Yatno karena lalai dalam menyiapkan laporan untuk presentasi meeting. Kalau biasanya pak Yatno memarahi Wulan di dalam ruangannya, kali ini beliau memarahinya didepan seluruh pegawai divisi. Membuat Wulan hanya bisa menunduk pasrah dipermalukan seperti itu.
"Lan?"
Langkah Wulan terhenti. Tak jauh darinya tempatnya, sosok Ares berdiri sambil menatapnya mengernyit. "Kamu kenapa?" nadanya terdengar cemas, membuat Wulan memejamkan matanya sesaat.
"Nggak apa-apa." Wulan menjawab pelan dan melangkah ke dapur. Perempuan itu mengambil gelas dan mengisinya dengan air dingin. Sesaat setelah menandaskan minumnya, rasa dingin langsung menjalar ke kerongkongannya.
"Kamu yakin baik-baik aja?" tanya Ares lagi. pria itu rupanya mengikuti Wulan ke dapur. Dia berdiri persis disamping Wulan.
"Apaan sih Res? Menjauhlah." Wulan tampak risih, namun Ares mengabaikannya. Pria itu menarik lengan Wulan, memaksa perempuan itu agar menatapnya. Ares memperhatikan wajah Wulan lekat-lekat. Wajah Wulan pucat, make up-nya sudah luntur karena keringat.
"Kamu nggak baik-baik aja, Lan!" seru Ares tertahan. "Kamu pucet gini!" Wulan mendengus dan berusaha menepis cengkraman Ares, namun pria itu menahannya.
"Ares! kamu gila ya! Kalo sampe diliat Mala bagai—"
"Ada apa ini?" tiba-tiba Ibu memandangi mereka bingung. Wulan terkejut dan sekuat tenaga menjauhi tangan Ares. wulan tersenyum kaku. "Kenapa?" kening Ibu mengernyit heran dan sedikit curiga.
"Nggak apa-apa Bu."
"Masa? Lalu kenapa Ares—"
"Wulan sakit, Bu! Ibu liatkan, wajahnya pucat," sela Ares cepat, membuat Ibu mendekati Wulan dan memperhatikan wajah putri sulungnya lekat-lekat.
"Iya kamu pucat Lan. Kamu sakit? Kamu balik ke kamar ya, biar Ibu buatin bubur sama teh hangat buat kamu," perintah Ibu diangguki cepat oleh Wulan. perempuan itu langsung pergi tanpa menatap Ares. "Res, Mala nunggu kamu di kamar."
Ares tersentak, lalu mengangguk. "Iya Bu. Ares ke kamar dulu." Ibu mengangguk dan mulai membuat bubur untuk Wulan.

***

"Gimana terapi tadinya?"
"Lancar kok, Kak. Kakak nggak mandi?" tanya Mala saat melihat Ares malah duduk dibibir ranjang. Mala segera menjalankan kursi rodanya mendekati Ares.
"Ntar deh, La. Aku capek nih." Ares meregangkan otot lehernya sambil membuka jam tangannya. mala merunduk, berniat membuka kaus kaki Ares tapi dengan cepat laki-laki itu menolak. "Nggak usah La. Aku bisa kok." Ares tersenyum tipis dan dengan cepat melepas kaus kakinya.
Mala memperhatikan suaminya dalam diam. Bagaimana bisa mengambil hati suaminya ini sementara perlakuannya untuk melayani Ares malah ditolak?
Ketika Ares hendak berdiri, Mala dengan cepat menarik tangan Ares sehingga ia kembali terduduk. "Kenapa La?" Mala diam. Dia hanya memandang Ares dalam-dalam.
Ares masih menunggu. Mungkin Mala ingin mengatakan sesuatu yang serius bila dilihat dari raut wajahnya yang tampak berbeda dari biasanya. Tiba-tiba kedua tangan Mala terjulur. Sedikit gemetar dua tangan itu namun Mala berusaha santai.
Ares terenyak ketika jemari Mala perlahan membuka kancing kemeja yang dikenakannya. Tubuhnya mendadak kaku saat merasakan jemari Mala menyusuri dadanya yang tertutup kaos dengan telunjuk. "La," panggil Ares namun tidak diacuhkan Mala. "Mala!"
"Biar aku bukain, Kak. Apa salahnya seorang isteri membukakan pakaian suaminya?"
Ares tertegun sejenak mendengar nada datar yang digunakan Mala. Mala mendongak. Ditatapnya lekat-lekat kedua mata Ares. "Apa Kakak risih dengan apa yang aku lakukan tadi?" tanyanya tapi Ares tidak menjawab. mala tersenyum tipis.
Dengan segenap hati yang ia miliki untuk Ares, suami yang sangat dicintainya itu, dipeluknya erat. kedua lengan Mala melingkar manis dipunggung Ares sementara pipinya bersandar pada dada Ares. dapat dirasakannya tubuh Ares tersentak kebelakang, namun Mala mengetatkan pelukannya. Ia mendongak. Balas menatap Ares yang memandanginya dengan pandangan tak terbaca. "Mala kangen sama Kakak."
Hati Ares mencelos mendengar kalimat pendek namun begitu bermakna. Sorot pandang Mala yang melembut disertai senyuman hangat. Ares mematung. Tidak tahu dan bingung harus menjawab apa.
Ares terkejut ketika tiba-tiba saja wajah Mala mendekat. Kedua matanya tertutup rapat. Ares sudah menduga apa yang Mala  ingin lakukan. Refleks ia memalingkan wajah, sehingga bibir Mala menempel dirahang Ares.
Mala menjauhkan tubuhnya, memandangi Ares sedih membuat laki-laki itu merasa bersalah. "Maaf La."
"Sebaiknya kakak mandi." Mala memundurkan kursi rodanya, mendekati lemari mengambil pakaian Ares. mengabaikan Ares yang kini berdiri dengan perasaan bersalah.
"La?"
"Aku keluar dulu."
Ares hanya menatap kepergian Mala tanpa berniat menahannya. Kembali Ares terduduk dipinggiran tempat tidur. Menatap foto pernikahannya dengan Mala yang terpajang diatas nakas frustrasi. "Maaf, La. Maaf."
TBC~~

Unperfect Wedding [Dua Hati]Where stories live. Discover now