Milk menatap langit-langit kamarnya tanpa minat. Kejadian tadi sore, perdebatannya dengan Love menghasilkan efek besar. Terbukti karena sekarang dirinya tak minat untuk sekadar beranjak mengisi perut. Pikirannya bercabang-cabang, dan tujuan akhirnya adalah penyesalan. Dirinya terus-terusan menyesal sejak sepulang sekolah tadi, merasa bahwa kata-kata dari mulutnya ini telah keterlaluan.
Sudah begini, diperbaiki pun bagaimana caranya? Milk pun tak berani untuk bertanya kabar Love sebagaimana yang selalu dirinya lakukan seakan prioritas. Kini dia hanya mampu memandang ruang obrolan, karena rasanya canggung untuk tetap bersikap sebagaimana biasanya setelah obrolan tadi sore.
Tring! Ponselnya berdering, pertanda sebuah nontifikasi. Milk langsung saja melihat dengan segera, tapi helaan nafas datang selanjutnya. Helaan nafas lelah karena nontifikasi yang masuk ternyata hanya iklan tidak jelas.
Suara nontifikasi masuk selanjutnya, bukan iklan tidak jelas, ini pesan dari sahabatnya, Ciize. Milk lantas membuka pesan masuk itu, dibacanya runtunan pesan yang dikirimkan oleh Ciize itu.
Bibirnya dibuat tersenyum kecil. Memang sahabatnya satu ini peka tiada tara. Kekhawatiran yang tersampai lewat kata-kata yang sedikit dibalut jenaka, beban pikirannya seakan dibuat reda. Tak lama panggilan suara masuk dari Ciize dan Milk langsung mengangkatnya.
"Keluar sini, gue tunggu di taman." Itu katanya sebelum akhirnya langsung menutup panggilan telepon begitu saja.
Milk melihat gawainya mencari tahu jam berapa sekarang. Pukul 10 kurang. Langsung saja dia beranjak dari kasurnya, mengambil dua jaket miliknya yang tergantung di dekat lemari.
Melihat lampu ruang tamu yang masih menyala, berarti itu pertanda pintu depan tak aman dilalui. Pintu belakang menjadi opsi lain baginya. Dengan langkah perlahan Milk mengendap-endap hendak keluar. Sukses.
Dari jarak persekian Milk akhirnya menemukan Ciize yang tengah duduk di bangku taman. Baju lengan pendek, Milk menggeleng tak habis pikir. Dia mendekat dan langsung menyampirkan jaket satunya yang dia sengaja bawa karena tahu kebiasaan Ciize yang tak suka membawa pakaian hangat.
"Kebiasaan keluar malem gak pake jaket," ucap Milk sedikit mengomel.
Ciize mengangkat tangannya guna menggenggam tangan Milk dan menariknya untuk duduk di sampingnya, "Kan ada lo yang bakal bawain jaket buat gue," balasnya.
Tanpa membalas ucapannya itu, Milk kemudian bertanya, "Kenapa ngajak keluar? Lagi banyak pikiran?"
"Gak kebalik?" timpalnya, "Yang harusnya nanya gitu tuh gue. Lo kenapa, Milk?"
Tampaknya dirinya memang tak dapat berbohong dengan benar jika di hadapan Ciize juga Namtan. Milk membenahi duduknya sembari menatap langit yang dihiasi bintang.
"Kalau gue bilang gak ada masalah gimana?"
Pertanyaan itu tak langsung dijawabnya, Ciize memperhatikan wajah Milk yang begitu enggan bertatapan mata dengannya dan memilih menatap langit. "Itu berarti lo belum mau cerita. Jadi, gue bakal anggap, iya lo gak ada masalah."
"Makasih," ucapnya dengan lirih. "Ini tentang Love."
Ciize spontan kembali menatap Milk begitu gadis itu kembali bicara. Rasa penasarannya langsung membuncah hingga ingin mendesak Milk untuk lantas bercerita. Namun, tidak begitu. Ciize lebih memilih diam saja sampai Milk bicara lagi.
"Kayaknya udah sampe sini aja," tukasnya setelah lama diam. Kakinya bergerak-gerak resah dan tentu Ciize memperhatikan.
"Sampe sini gimana?"
Milk kembali ragu untuk memilih bercerita atau tidak. Dirinya kembali diam sedang Ciize makin dibuat penasaran. Ditatapnya wajah Ciize yang menunjukkan raut penasaran itu.
Lantas Milk memulai ceritanya. Menceritakan apa yang jadi beban pikirannya sejak sore tadi. Didukung suasana, Ciize mendengar dengan seksama atas setiap kata yang Milk ucapkan.
Kepalanya ia tundukan setelah usai bercerita. Terasa lega setelah sebelumnya terasa berat. Milk kemudia mengangkat kepala setelah lebih tenang, menatap Ciize yang tak melepas pandang ke arahnya sejak tadi.
"Persoalannya bukan di situ, kan?"
"Maksud?"
"Lo pasti lagi banyak pikiran," cetusnya, "ada sesuatu ya selama seminggu kemarin?" Pertanyaan itu merujuk pada saat di mana Milk menghilang selama seminggu penuh tanpa bisa dikabari, pergi dengan alasan keluarganya.
Sesungguhnya baik Ciize maupun Namtan tak ada satu dari mereka yang tahu dengan detail permasalahan yang Milk miliki. Mereka masing-masing hanya tahu sekilas dari cerita yang pernah Milk singgung secara tak sengaja, juga keduanya hanya akan menunggu sampai Milk bercerita dengan sendirinya.
"Tuhan ngasih kelahiran gak mungkin salah, kan?" Pandangannya kembali fokus ke langit, terlihat dengan jelas sedang menahan tangisan.
"Gak ada kelahiran yang salah. Mungkin adanya lahir di mana yang jadi masalah."
"Kalau gitu sah aja kalau gue ngeluh? Atau kalau gue ngeluh Tuhan bakal marah, karena kesannya gue gak bersyukur?"
Pernyataan yang dibalut Pertanyaan abstrak. Ciize ingin menerka tentang apa permasalahannya. Namun, terlalu luas untuk dijabarkan jika hanya berdasarkan ucapan itu. Sudah begini dirinya jadi dibuat penasaran. Terlampau penasaran hingga ingin menginterogasi secara langsung.
Setelah bicara begitu Milk langsung berdiri, sembari memasukkan masing-masing tangannya ke dalam saku jaket. "Sana pulang," ucapnya seketika. Dirinya langsung berbalik lebih dulu dan berjalan dengan langkah pelan.
"Gue mau ngasih tau sesuatu!"
Ucapan Ciize itu sontak membuat langkah Milk yang baru berlalu beberapa langkah itu terhenti. Hanya saja dia hanya diam tanpa berbalik untuk melihat Ciize yang hendak bicara.
Memperhatikan gerak-geriknya yang seakan tak ada niat untuk berbalik, Ciize tak masalah. Jika begitu, dia hanya akan mengeluarkan apa yang ingin dirinya katakan.
"Apa lo masih dan beneran anggep gue sama Namtan sahabat lo, Milk?"
Dimulai dengan sebuah pertanyaan rancu yang menjadi bisu untuk keduanya selama beberapa saat. Sampai Milk membuka mulut pertama setelah berbalik lebih dulu.
"Apa maksud lo nanya gitu! Jelas masih lah!" balasnya dengan spontan bernada kencang.
Diangguki dengan paham dan senyum tipis, "Syukur deh," lirih Ciize seolah lega akan suatu hal. "Kalau gitu gue mau balik. Lo juga mau balik, kan? Jangan-"
"Apa maksud lo nanya gitu, Ze!" Milk mengulang pertanyaannya tadi, memotong ucapan Ciize.
Kepalanya menggeleng, "Gapapa. Mau nanya aja."
"Terus tadi mau ngasih tau apa?"
Lagi, kepalanya menggeleng, "Gatau."
"Ze!"
"Milk, lo bukan mau ngalangin gue pulang, kan? Udah, ya, keburu makin malem. Gue gamau kemaleman."
Perkataan yang seakan hanya dalih untuk melarikan diri dengan meninggalkan kegelisahan di hati lawan bicaranya. Katakan Ciize sengaja karena memang itu tujuannya. Bukan dengan maksud tertentu. Bukan juga tidak menghargai privasi yang dimiliki Milk. Namun, mau sampai kapan Milk terus bercerita tanpa lepas. Bukan melegakan, tapi malah menambah pikiran.
Di samping alasan itu, Ciize juga ingin mengenal Milk lebih dalam. Dirinya ingin menjadi yang pertama sebagai seseorang yang mengetahui cerita seorang Milk. Dirinya ingin dijadikan sandaran. Bukan masalah jika sampai akhir harus bergelar sahabat. Karena dalam beberapa hal sahabat lebih utama daripada kekasih.
Sama dengan apa yang dilakukan Milk tadi, Ciize kini melangkah menjauh. Banyak harapan dalam batinnya untuk Milk segera mencegahnya untuk berjalan lebih jauh.
"Ada satu hal yang gue bohong sejak awal kita kenal." Nada bicaranya sedikit tersenggal. "Gue, gue bukan anak adopsi," lanjutnya dengan cepat, tapi juga terbata dalam beberapa katanya.
Mata Ciize membulat. Pikirannya tertuju pada satu hal.
"Gue cuman anak di luar nikah."
Lirih terucap. Namun, dapat terdengar dengan jelasnya dalam pendengaran. Selanjutnya yang dapat Ciize dengar adalah suara nafas yang memburu. Dengan segera dia berbalik kemudian berlari untuk merengkuh Milk yang sedang runtuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
We're Practically Lovers, Right?
FanfictionMilk telah mencintainya, tapi apakah yang dicintainya memiliki perasaan yang sama, Milk tidak tahu. Yang dia tahu hanyalah, perasaannya tidak ditolak, tidak juga diterima. Jadi, Milk hanya akan terus mencintainya. Setidaknya selama cinta yang diperl...